Senin, 31 Desember 2007

Technology Brief: Sudah siap menyetir mobil listrik?

Prius memang fenomenal. Walaupun datang terlambat dibanding Honda Hybrid, mobil hybrid keluaran Toyota ini dapat membuat sensasi yang lain sehingga begitu banyak orang yang bermigrasi dari mobil berbahan bakar full BBM ke mobil berbahan bakar hybrid--BBM dan... listrik! Yang membuat Prius sukses adalah desain yang sengaja dibuat berbeda dari mobil BBM biasa. Tentunya setiap orang yang mengeluarkan uang extra untuk sebuah mobil hybrid dengan semangat "Save the world from Global Warming" ingin tampil berbeda. Mereka ingin direkognisi berdasarkan investasi mereka sebagai salah seorang pejuang Bumi.
Performa Prius adalah seperti mobil kebanyakan. Dan tetap menggunakan BBM walau sedikit. Oleh sebab itu, produsen mobil seperti GM, berencana membuat mobil kecil yang all electric--GM Volt. Tapi bagaimana dengan pecinta mobil berpower besar (supercar)? Apakah mudah membuat mereka berpindah ke mobil hybrid atau electric yang mayoritas berukuran compact?

Lexus sudah mengeluarkan sedan luxuriousnya yang berbaru LS600h yang sudah menggunakan teknologi hybrid. Tapi tetap, kita tidak bisa menghindari mesin besar combustion engine yang dimuat oleh Lexus. Again, bagaimana dengan full electric?

Beberapa pecinta ide mobil elektrik dan pecinta muscle car sudah mulai menciptakan mobil elektrik bertenaga besar untuk keperluan yang spesifik sejak bertahun-tahun lalu. Sebut saja White Zombie yang diciptakan oleh sebuah tim di Amerika sejak tahun 1994--silakan lihat pada embedded video diatas. White Zombie diciptakan untuk berlomba dalam Drag Race mengalahkan mobil-mobil combustion engine yang bertenaga besar sekalipun. Performance-nya terbukti luar biasa. Melalui begitu banyak kompetisi dan evolusi bertahun-tahun dengan banyak perubahan baik kecil maupun besar, pada tahun 2007 White Zombie berhasil mencapai 109.58 mph dalam waktu 11.882 detik!! (untuk lengkapnya, dapat dilihat di http://www.plasmaboyracing.com/reviews.php)
Fenomena dan dedikasi yang luar biasa yang ditunjukkan oleh para anggota tim untuk membuat mobil yang begitu bertenaga dengan hanya dimotori beberapa baterei aki. Sayang, White Zombie hanya dibuat satu... dan hanya digunakan untuk kompetisi. Bagaimana dengan mobil tenaga listrik bertenaga besar yang dibuat untuk khalayak umum? Tenang... ada Tesla.


Apakah Tesla? Nope, don't worry... saya bukan minta anda untuk mengingat pelajaran fisika tentang elektromagnetika kok :) TESLA adalah sebuah perusahaan start-up dari Silicon Valey yang mendedikasikan diri untuk membuat Supercar bertenaga full baterei. Hebat kan?
Pada tahun 2006-2007 ini, Tesla sudah berhasil membuat prototipe mobil supercar tersebut yang rencananya akan dijual komersil. Sampai saat ini sudah 100 pemesan yang mengantri. Wow... habat kan? Apalagi untuk sebuah perusahaan start-up.
Tesla berkerjasama dengan Lotus membuat desain mobil roadster berpenumpang dua orang. Dijual dengan harga US$100,000 per buahnya, Tesla telah berhasil membuat mobil listrik yang mencapai akselerasi 0-60mph dalam waktu 4 detik dan mampu menempuh jarak 221 mil hanya dengan sekali pengisian penuh yang cukup dilakukan dalam waktu 3 jam saja. Walaupun sekarang Tesla sedang mengalami production delay disebabkan oleh problem transmisi, tetap ia telah membuat breakthrough di dunia otomotif. Again, distinctive design diperlukan disini, agar si pembeli bisa bangga memiliki mobil yang superpower dan... ramah lingkungan!!

Management Tesla menjanjikan bahwa pada musim panas tahun 2008, Tesla Roadster sudah dapat dikirimkan ke para pemesannya, setelah masalah transmisi selesai. Dapat dimaklumi sebenarnya jika Tesla--yang hanya mempunyai 2 level transmisi--memiliki problem ini. Bayangkan saja, transmisi tersebut langsung berhubungan dengan mesin listrik yang berputar 13,000 rpm!

Saya dapat membayangkan bahwa tahun 2009 akan ada beberapa mobil listrik di bumi Indonesia ini. Saya sudah ngga tahan lagi dengan polusi Jakarta. We need to do something... and we need to do it ASAP. Aaaah... seandainya saya punya uang US$100,000 yang tak terpakai... :(

Bagaimana dengan Anda? Siap mengubah isi garasi anda?

Happy New Year 2008! Wish you all the best...

Cheers,
DYN

Kamis, 27 Desember 2007

Business Brief: Blog Marketing


Apa yang kira-kira ada dibenak Anda ketika membaca judul artikel ini? Apakah sebuah pembahasan mengenai iklan web dalam bentuk gif atau flash yang diletakkan di halaman-halaman blogsite mungkin? Ataukah sebuah cara marketing baru untuk memperbanyak pengunjung ke Blogsite Anda? Atau ini sebuah cara baru untuk mengkapitalisasi Blogsite Anda yang selama ini Anda berikan dengan cuma2 untuk pembaca Anda tercinta? Hmm... Hampir betul, tapi sayangnya Anda masih salah atau kurang tepat :)

Singkatnya, mungkin anda pernah begitu sibuk membuka-buka internet dan mencari review dengan mesin pencari Google atau Yahoo! untuk melakukan riset suatu barang yang akan anda beli. Let's say, sebuah Kamera Digital--sorry, ini pengalaman pribadi saya baru-baru ini :p
Saya yakin dengan begitu banyaknya tipe, keunggulan teknologi dan merek kamera digital, Anda tentunya kerepotan bila harus ke Mangga Dua Mall atau muter-muter di Mall Ambasador hanya untuk membanding-bandingkan keunggulan setiap kamera yang anda temui, sedangkan kamera tersebut tidak dapat dicoba--ini yang menyebalkan--dan seringkali si penjual juga tidak mengerti benar keunggulan dari setiap tipe kamera--saya mengalami sendiri, baru saja membeli kamera yang salah spesifikasi karena penjaga toko ngga ngerti dan ngga bisa dituker dengan tipe lain dengan berbagai alasan. It's horrible, right? Sampai sekarang aja masih diubun2 kekesalan saya. Lalu apa yang akan anda lakukan? Saya yakin, jika anda membaca blog saya saat ini, anda akan mencari informasi tersebut di Internet--dan ternyata saya terlewat membaca spesifikasi penting itu karena infonya berbeda2 dibeberapa situs. So, Internet is sometimes misguiding, right?
Kemudian... saya mau tanya lagi... apakah anda akan membuka situs resmi (official company website) dari si produsen kamera? Saya yakin tidak selalu. Bahkan bisa jadi, 100% dari situs apa yang anda pilih untuk dibaca, tidak ada satupun situs resmi si produsen. Saya sekali lagi yakin, anda akan mencari sebisa mungkin website yang memuat ulasan review yang tajam, lengkap dan tidak bias atas semua jenis kamera yang ada di pasaran, lengkap dengan pros and cons dari setiap produk. Walaupun, again, beware bahwa ulasan yang tidak formal bisa saja misguiding seperti masalah saya tadi.

Apakah situs yang mempunyai karakteristik review yang tajam dan unbiased seperti diatas? Blogsites tentunya. Setiap orang yang independent (atau tidak) bisa membuat blog sendiri, kemudian berkomentar sesuai apa yang dia rasakan, pikirkan dan alami terhadap suatu produk atau jasa. Saya pun, melanjutkan contoh tadi, melakukan survey dengan mengunjungi webblog beberapa penggila photography plus website marketplace yang memuat review/komentar dari pelanggan yang membeli barang dari situs mereka--contohnya, Amazon.com. Hal ini cukup efektif dan efisien bagi saya, menghemat begitu banyak waktu dan tidak perlu melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan si blogger. Sehingga pada akhirnya, saya bisa mengecilkan jumlah pilihan kamera saya ke hanya beberapa model dan tipe saja. Saya mungkin memang cepat terpengaruh dengan perkataan orang; Tapi menurut saya, everybody is trying his best to convey what he feels, honestly. Karena pengaruh blog-blog yang saya baca itulah akhirnya saya menentukan suatu merek dan jenis yang saya pikir paling cocok dengan kebutuhan saya, dan saya langsung pergi ke pasar untuk mencoba langsung dan membelinya bila cocok. Saya tidak perlu muter-muter lagi :) Itulah BLOG MARKETING. Dan si produsen kamera yang saya beli diuntungkan atas review yang ada di blogsites sehingga saya pada akhirnya memilih produk buatannya... menarik, bukan?

Dalam definisi saya sendiri, Blog Marketing adalah sebuah metode marketing yang memanfaatkan fungsi blog sebagai media komunikasi pengenalan barang/jasa. Jika sebuah perusahaan mempunyai barang/jasa yang merupakan konsumsi market segmen yang sudah sangat paham Internet, maka blog adalah media yang paling efektif untuk secara gerilya mempromosikan barang/jasa mereka itu. Mungkin tidak terbatas pada blog aja ya... termasuk juga situs review resmi dan forum. Dari blog, produsen tidak hanya mendapatkan manfaat "virtual marketing" getok ular saja, tetapi juga feedback yang berharga dari pendapat-pendapat blogger maupun komentator. Jika produsen bisa menanggapi komentar-komentar dan kritik tersebut dengan bijak dan jeli, mereka bisa memanfaatkannya sebagai sumber inspirasi perbaikan mutu dan fungsi produk-produk berikutnya.
Metode ini secara praktis sudah mulai dilakukan beberapa perusahaan di negara maju. Contoh yang paling populer adalah saat pemerintah Jepang memperkenalkan "Shinkansen" terbarunya baru-baru ini, beberapa blogger pun diundang untuk melihat dan mencobanya. Langkah tersebut berbuah hasil. Dengan cepat berita mengenai kehebatan Shinkansen baru tersebut menyebar, berikut juga kritikan-kritikan membangunnya. Kritikan itulah resiko yang diambil. Tapi paling tidak, tanpa perlu budget marketing communication yang berlebihan, khalayak bisa ter-update dengan baik. Ulasan para blogger pun sangat tajam, bahkan diakui pihak Japan Railway Group lebih tajam dari pihak mereka. Tentunya, masukan-masukannya menjadi sangat positif, kan?

So, menggunakan medium blog sebagai media marketing ternyata cukup efisien. Begitu banyak perusahaan-perusahaan yang saat ini membuat situs blog sendiri agar para eksekutif dan karyawannya dapat membuat tulisan yang positif yang dapat dibaca publik. Lucunya, seringkali kita lebih tertarik membaca tulisan tulus seorang head of product development sebuah perusahaan dalam sebuah blog daripada press release formal yang ada di company website perusahaan. Mungkin, dugaan saya, hal ini dikarenakan:
  • Gaya bertutur blog lebih alami, casual dan straight-to-the-point
  • Penulis adalah orang yang langsung berhubungan dengan barang/jasa tersebut. Misalnya: engineer, pehobi, dlsb--apalagi jika penulis adalah center-of-interest perusahaan seperti Bill Gates di Microsoft
  • Kadang lebih mendalam dan dapat dilanjutkan dalam kolom-kolom diskusi
  • Tidak sungkan-sungkan dalam mengungkapkan kekurangan barang/jasa
  • Relatif lebih neutral daripada PR; dan masih banyak lagi
Seperti efek domino, blog yang mempunyai penggemar-penggemar tersendiri akan dapat membangun image dengan cepat dan menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia via dunia maya. Jelas dengan begitu cepatnya spread of information ada akibat baik dan buruk yang ditimbulkan. Jika informasi yang ada adalah positif, maka pastinya akibat baik yang ditimbulkan terhadap penjualan barang tersebut. Tapi jika informasi tersebut negatif, maka perusahaan harus hati-hati menanggapinya dan mulai bisa menerima pesan negatif sebagai kritik membangun produk lalu mencoba untuk memperbaikinya--seperti yang sudah saya bahas sebelumnya. Trik yang paling baik menurut saya dalam menanggapi review yang negatif adalah segera memperbaiki produk--dengan firmware baru atau strategi yang lain--kemudian menghembuskan informasi perbaikan kualitas tersebut via blog-blog itu juga... selain via media PR formal. Biarkan para blogger mencoba kembali dan mereviewnya--syukur2, review akan lebih baik :) seru kan?

Tentunya, asumsi dan analisis saya ini masih perlu terus dibuktikan lewat perkembangan weblog di masa depan. Tapi yang jelas, Internet dengan Web 2.0-nya telah mengubah positioning Internet dari sebuah media informasi menjadi sebuah media interaksi yang dinamis dan menguntungkan banyak pihak. Jadi, jangan sungkan-sungkan untuk go digital. Manfaatkanlah teknologi semaksimal mungkin untuk usaha anda!

Have a great day, and HAPPY NEW YEAR 2008!!

cheers,
Dony Yuliardi @ HOME

Senin, 24 Desember 2007

Technology Brief: GPS atau LBS?

Saya yakin anda pasti pernah mendengar istilah GPS--walaupun kadang anda tertukar menyebutnya sebagai GPRS :) Bagaimana dengan istilah LBS? Mungkin agak asing istilah itu terdengar di kuping anda. Tapi yang penting, keduanya mempunyai fungsi yang kurang lebih sama--memberikan detail posisi anda. Menarik bukan? Apalagi jika anda termasuk orang lemah daya ingat spasialnya. Bukan hal yang abnormal kok... It happens sometimes :p

Sesuai judulnya, saya ingin membandingkan kemampuan dan fungsi antara kedua teknologi pencari posisi tersebut. Untuk pembahasan kali ini, biar ngga bikin pusing, saya akan membahas perbedaan-perbedaan esensial saja. Ok... Mari kita mulai dengan definisi kedua istilah diatas.

GPS adalah singkatan dari Global Positioning System, sistem yang menggunakan fasilitas satelit untuk menentukan posisi seseorang diatas bumi. Teknologi ini dikembangkan oleh Departemen Pertahanan Amerika dan menjadi konsumsi publik sejak tahun 1983 berdasarkan kebijaksanaan Presiden Reagan saat itu. Pada awalnya, ada 24 satelit MEO (Medium Earth Orbit) yang digunakan untuk membantu melacak posisi, dengan membagi wilayah bumi menjadi 3 bagian yang masing-masing diisi oleh 8 satelit. Dalam perkembangannya, bumi dibagi menjadi 6 bagian dengan 4 satelit melayani per wilayah. Karena mengorbit di MEO (sekitar 20,200 km diatas permukaan bumi), maka posisi orbit satelit kadang berubah--bandingkan dengan GEO stationer yang berada di 36,000 km. Untuk itu, pemerintah Amerika melakukan kontrol setiap saat untuk mengembalikan satelit ke orbitnya yang benar. Sampai per September 2007, ada 31 buah satelit yang beredar sebagai satelit GPS, untuk membuat perhitungan posisi semakin akurat (sumber: Wikipedia).

Bagaimana cara kerja GPS?

GPS device sudah banyak dipasaran saat ini. Sebut saja Garmin dan Leica yang memang mendedikasikan diri untuk GPS. Bahkan HP, BlackBerry, Nokia dan beberapa produsen handset telah menanamkan fungsi ini kedalam handset high-end mereka. Komponen utama dari GPS device ada 3: antena penerima, prosesor dan jam berakurasi tinggi. Device akan menerima sinyal dari minimum 3 satelit (saat ini bahkan 4, 12 bahkan sampai 20 satelit sekaligus) dan mengukur posisi berdasarkan ketiga sinyal tersebut. Device akan menghitung delay diterimanya sinyal dari setiap satelit, untuk mengetahui jarak satelit dari device. Setelah itu, dengan metode "triangulation" atau "trilateration" device akan mengukur posisi kita. Bayangkan, anda berada ditengah2 3 orang teman anda dan masing2 teman anda tahu posisi mereka. Dengan anda tahu jarak anda ke masing2 teman anda dan anda tahu informasi posisi teman anda, maka anda dapat dengan mudah mengukur POSISI ANDA (lihat gambar).

Kekuatan dari sistem GPS ini adalah
- coverage-nya yang sangat luas, yang melingkupi seluruh muka bumi.

Sedangkan kelemahannya adalah
- pengguna harus terlihat oleh satelit (tidak boleh berada dibawah bangunan) dan
- interferensi oleh medan elektromagnetik lain, seperti sinar matahari contohnya, yang dapat mengubah keakuratan data ketika sampai di device.

Bagaimana dengan LBS?

LBS adalah Location Based Service yang sebenarnya adalah salah satu Value-Added Services dari layanan selular GSM. LBS bukanlah sistem--Ia adalah layanan yang menggunakan sistem tambahan penunjang sistem GSM. Jadi jelas, bisa jadi ada beberapa opsi sistem yang dapat men-deliver layanan LBS ini dengan teknologi yang bervariasi; tapi pada dasarnya, sistem2 tersebut menggunakan prinsip dasar yang sama: Triangulation 3 BTS (Base Transceiver Station) GSM atau lebih yang saling berdekatan. Jadi, kalau ditilik, ngga jauh beda dengan sistem GPS--hanya saja, fungsi satelit digantikan oleh BTS.
Untuk dapat meng-cover wilayah yang luas dan memberikan posisi yang akurat, otomatis operator GSM harus mendeploy BTS yang cukup, baik coverage maupun densitasnya.
Perbedaan yang lain dengan GPS adalah pemroses posisi. Pada peralatan GPS, device GPS pengguna lah yang mengukur dan mengolah posisi pengguna. Sistem back-end satelit hanya memberikan info posisi satelit, kecepatan dan waktu. Sedangkan pada sistem LBS, yang melakukan kalkulasi posisi adalah back-end sistem GSM, bukan handset pengguna. Informasi posisi akan dicatat oleh BTS yang terdekat kemudian data dikirim ke sistem LBS untuk dikalkulasi dan dikirimkan ke delivery channel yang dituju (SMS atau MMS atau email atau yang lain). Perbedaan ini dimungkinkan karena pengguna GSM tercatat sebagai pelanggan yang seluruh aktifitasnya terekam oleh back-end system. Metode ini memberikan fleksibilitas bagi operator GSM atas layanan LBS apa yang ingin diluncurkan, tanpa perlu takut handset tidak dapat mengakomodasinya. Pada GPS device hal ini tidak dimungkinkan. Device harus memiliki aplikasi khusus didalamnya untuk melakukan kalkulasi berdasarkan outcome yang dibutuhkan.

Wah... Saya ngga terlalu ribet kan jelasinnya?

Ok, go straight to the bottom line, mana sih yang lebih baik?

LBS mempunyai kelebihan sbb:
- tetap berfungsi bila berada di dalam gedung
- impact interferensi medan elektromagnetik yang lain tidak terlalu besar

Kekurangan LBS sbb:
- coverage sangat bergantung pada coverage selular

Tambahan lain atas perbedaan keduanya:
- Pada GPS, device harus memilliki aplikasi dan hardware khusus untuk memproses data --> pengguna GPS tidak perlu berlangganan layanan.
- Pada LBS, handset tidak perlu memiliki aplikasi dan hardware khusus, cukup network yang melakukannya --> pengguna LBS harus terdaftar sebagai pelanggan GSM dan LBS.

So, masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Yang pasti, produsen handset high-end mulai mencoba untuk mengakomodasi keduanya dengan memasukkan teknologi GPS kedalam produksi mereka--seperti yang sempat saya singgung di awal tulisan. Saat ini, mulai diintroduksi layanan A-GPS (Assisted GPS) yang lebih maju lagi.

A-GPS merupakan layanan yang menggabungkan sistem GPs dan layanan GSM. Tentunya layanan ini berguna untuk dapat menjembatani kekurangan dan kelebihan GPS dan LBS. A-GPS pertama kali dikeluarkan oleh US FCC (badan komunikasi Amerika) untuk mengakomodir emergency call 911 agar penelfon dapat terlacak dengan lebih akurat, baik ketika di dalam maupun luar gedung. Canggih kan?

Tentunya teknologi pencari posisi ini terus berevolusi mencari bentuk yang paling ideal. Dan sampai pada saatnya itu, kita sudah bisa memulai menggunakan layanan yang ada untuk berbagai keperluan sejak sekarang: mengetahui lokasi sendiri, mencari posisi teman, mencari lokasi fasilitas publik, mencari jalan pintas, dan fungsi lainnya.

Pokoknya yang penting, jangan coba2 cari saya hari ini ya! Saya sedang mencoba menikmati liburan Idul Adha dan Xmas yang tinggal 2 hari lagi di suatu tempat yang rahasia hehe :)

Selamat berlibur!

Cheers,
-dyn

Dony Yuliardi

Sent from my BlackBerry® wireless device from XL GPRS network

Sabtu, 22 Desember 2007

Art & Living Brief: Superior Memory


(Clip from YouTube)

Sering lupa kapan ulang tahun orang terdekat anda? Jangan takut, saya juga termasuk orang yang sering lupa :) Dan ngga jarang juga, significant others saya protes akan kelemahan daya ingat saya itu. Kalau menurut mereka, itu bukan saya yang tidak ingat... tapi karena saya tidak berniat untuk mengingat. Hehe... menurut anda?
Ayah saya adalah seorang intel. Lebih dari 20 tahun beliau berkarir dalam bidang intelijen. Hal yang menarik dari profesi ini adalah, anda harus mengingat kuat orang per orang yang anda temui. And amazingly, it works!! Saya sering sekali kagum bahwa ayah saya bisa dengan mudahnya mengingat nama kenalannya yang ditemui di tempat-tempat yang tak terduga: di kawinan, di pasar, di event khusus, dan lain sebagainya. Sedangkan saya? hehe... untuk yang kenal atau pernah kenal dengan saya, mohon maaf kalau saya kadang lupa nama orang yang saya temui... susah sekali bagi saya me-recall nama yang pernah saya tahu. Tapi tenang... paling tidak, saya ingat kok muka teman2 saya :)

Klip YouTube yang saya embed di posting saya kali ini adalah tentang Brad Williams. Siapa dia? dan apa yang membuatnya begitu spesial?
Kebalikan dari kekurangan saya dalam mengingat, Brad begitu hebat dalam mengingat. Di umur yang sudah 51 tahun ini saja, penyiar Radio di La Crosse, Wisconsin, Amerika ini dapat mengingat dengan detail apa yang dia lakukan lebih dari 40 tahun yang lalu, dan lengkap dengan tanggalnya. Tak hanya itu. Dia bisa dengan cepat--dalam hitungan 2 detik--mengingat suatu kejadian lokal, nasional atau internasional, lengkap dengan tanggalnya. Atau, dia juga bisa menjawab peristiwa apa yang terjadi pada suatu tanggal tertentu. Kepada teman-temannya dia sering berkelakar: Bila saya menikah, saya tidak akan lupa hari ulang tahun perkawinan saya... hehe jelas lah yaaaa :p

Bakat yang dimiliki Brad ini disebut dengan Hyperthymesia atau superior memory. Ngga banyak orang yang memiliki bakat ini... tapi tidak berarti sedikit pula. Bersama Brad juga ada seorang wanita berinisial "AJ" yang sedang diteliti oleh tim dari University of California-Irvine, US. Bayangkan bila semua orang memiliki "otak database komputer" seperti Brad, mungkin buku sejarah tidak akan selaku saat ini. Tapi yang terpenting adalah dengan ditemukannya kemampuan khusus dalam mengingat seperti ini menggugah para peneliti untuk melakukan riset terhadap fenomena ini dalam mencari jalan keluar atau obat bagi penyakit yang bermasalah dengan daya ingat, seperti penyakit pikun ataupun Alzheimer. Salah seorang peneliti di MIT bahkan telah berhasil menemukan obat untuk membangkitkan kembali synapses pada syaraf pengingat di otak tikus, sehingga memori yang hilang dapat kembali.

Sebenarnya kita tidak perlu terlalu berbakat seperti Brad atau minum obat yang ditemukan MIT itu agar bisa mengingat momen-momen penting dalam hidup. Melatih otak untuk mengingat seperti yang dilakukan para agen intelijen atau berlatih untuk berkonsentrasi juga sudah merupakan obat "natural" untuk memperbaiki kinerja otak kita.

Dan saya yakin, saya termasuk yang harus banyak berlatih biar ngga diprotes lagi oleh teman-teman saya :) Bagaimana dengan anda? Apakah anda punya ide "mind gym" yang efektif untuk membangkitkan daya ingat? Please share...

Have a nice day!
btw, selamat liburan idul adha dan natal, ya

cheers,
Dony

Kamis, 06 Desember 2007

Technology Brief: Blue Energy, Sebuah Karya Anak Bangsa

Mungkin baru kali ini anda mendengar nama Joko Suprapto. Sampai saat ini pun, saya belum pernah melihat sosok tersebut secara visual atau kenal dengan beliau, tapi kerja keras dan konsistensinya telah membuat sebuah breakthrough yang bisa mengubah habit konsumsi BBM menjadi Indonesia secara signifikan--bahkan mungkin di dunia. Inovasi yang Pak Joko buat inilah yang kemudian disebut dengan Blue Energy--sebuah nama yang terlalu generik, yang menurut saya harus diubah menjadi nama baru yang lebih unik :)

Teknologi Blue Energy ala Pak Joko pada prinsipnya adalah upaya menggunakan AIR (ya,... air) sebagai pengganti bahan bakar minyak. Air adalah renewable resources yang bisa ditemukan dimana saja dan pastinya murah. Tentunya, temuan ini dapat sangat membantu konservasi bahan bakar minyak yang jumlahnya terbatas. Air yang dipakai pun tidak perlu air tawar, tapi bisa menggunakan air laut. Semangatnya, masyarakat dapat mengkonsumsi sumber air yang lebih tak terbatas--laut dan samudra--tanpa membahayakan sumber air bersih yang diperuntukan bagi kebutuhan minum masyarakat luas.

Bahan bakar air ini digunakan dengan mencampur 4 liter air dengan 1 liter bahan bakar minyak (BBM). Memang, BBM tetap digunakan... tapi konsumsinya akan sangat ditekan ke titik yang sangat rendah. Teknik yang digunakan adalah mengupayakan pemisahan komponen H2O menjadi partikel ion H+ dan O- yang kemudian akan disenyawakan dengan BBM dibantu dengan beberapa katalis menjadi senyawa-senyawa berantai karbon baru yang lebih efisien untuk digunakan di internal combustion engine yang ada dipasaran--mesin 4 tak, mesin diesel... sangat menarik. Sampai saat ini saya belum tahu apakah bahan bakar baru ini bisa digunakan untuk external combustion engine; tapi saya yakin, it will come soon. Dari uji coba yang dilakukan tim Presiden SBY dengan menggunakan mobil Mazda 6, hasilnya bahan bakar ini hanya dikonsumsi sekitar 1 liter untuk 15 km jarak tempuh. Mesin bersuara lebih halus dan buangan hasil pembakaran sangat bersih, bahkan Presiden SBY berani menghirup knalpotnya--tentunya cukup membuat panik Paspampres kalo2 Presiden pingsan :p

Memang, untuk dapat dikonsumsi secara masal, Joko dkk harus dapat membuat senyawa katalis yang dipakai menjadi barang consumables yang murah sehingga layak pakai. Inilah sepertinya tantangan ke depan untuk implementasi temuan baru ini di pasar. Diluar itu, teknologi ini adalah hasil yang sangat membanggakan dari Anak Negri. Dan teknologi ini bukanlah hasil penelitian yang sebentar--Pak Joko menghabiskan waktu belasan tahun untuk menemukan komposisi senyawa yang tepat.

Moreover, temuan Pak Joko tidak saja menggugah dunia atas penggunaan air sebagai substitusi BBM, tapi yang paling penting adalah menggugah masyarakat Indonesia bahwa kita masih punya orang2 pintar dan berdedikasi tinggi yang bisa membuat sesuatu yang baru dan positif bagi khalayak. Inilah semangat yang tidak terbayarkan, ditengah kemelut negri terkorupsi yang sedang mengalami krisis kepercayaan dan identitas diri.

Yuk, kita berinovasi!

Have a nice day :)

Dony Yuliardi @ Home

Kamis, 29 November 2007

Technology Brief: Ayo Membaca Digital!

Baru-baru ini, toko buku digital Amazon meluncurkan sebuah buku digital yang diberi nama Amazon Kindle. Kindle adalah gadget berlayar e-ink dengan lebar diagonal 6 inci dan dapat digunakan selama 30 jam non-stop. Dengan memori internal sebesar 256MB dan opsi untuk menambah memori menggunakan slot SD card, tentunya cukup banyak 'buku' yang dapat dibawa pergi. Buku-buku digital yang dijual oleh Amazon cukup murah. dengan berbekal US$9.99, anda sudah dapat memboyong sebuah buku untuk dibaca. Uniknya, selain untuk membaca 'buku' yang sudah dibeli secara online, pengguna dapat juga browsing Internet untuk mencari bahan-bahan bacaan lainnya, dengan menggunakan teknologi CDMA EV-DO. Menarik, bukan? Oleh Newsweek edisi minggu lalu, gadget satu ini dibahas layaknya sebuah 'breakthrough' yang akan mengubah cara orang membaca; walaupun sebenarnya, Sony sudah lebih dulu mengeluarkan e-reader serupa, minus online.
Pertanyaannya adalah: Apakah memang benar kita akan beralih ke buku digital? Apakah kita akan lebih terpacu untuk membaca?

Masih dari data Newsweek, hanya 57% orang dewasa yang membaca buku--turun dari 61% sepuluh tahun yang lalu. Itu di Amerika. Bagaimana di Indonesia? coba... kapan anda terakhir membaca buku? heheh saya yakin sudah lama sekali. Menurut analisa bodoh-bodohan saya yang tidak didasari suatu survey, buku itu tidak favorit di Indonesia karena beberapa hal:

- buku mahal
- budaya membaca masih sangat kurang
- perpustakaan masih sangat jarang. Kalau adapun, kondisinya memprihatinkan
- Buku buatan penulis Indonesia kurang dikemas dalam bentuk yang menarik
- Bahasa Indonesia kurang baku
- mayoritas rakyat Indonesia masih dalam kerangka 'survival'... belum terpikir buat baca buku. wong makan aja sulit :p
- transportasi kurang memadai sehingga tidak nyaman menghabiskan waktu di bus, misalnya, dengan membaca
dan masih banyak penyebab lainnya. Mau menambahkan?

Saya masih ingat ketika kuliah di UK. Begitu masuk ke gedung perpustakaan, saya sangat excited. Begitu mudah saya mencari buku yang saya inginkan dan begitu banyak pilihan buku yang bisa saya pinjam. Meja untuk membaca pun sangat nyaman, dibekali dengan port UTP dan listrik untuk bisa ber-surfing memakai laptop. Very comforting. Sangat berbeda dengan ketika saya masuk ke perpustakaan pusat UI Depok. Jujur saja, suasananya tidak menarik. Saya hanya sekali ke perpustakaan UI, dan rasanya tidak tertarik untuk datang lagi. Menyedihkan ya...

Mungkin, buku digital adalah salah satu cara membuat kita terpacu untuk membaca. Sebetulnya kita, tanpa disadari, sudah memulai kebiasaan membaca serba digital itu. Coba saja ketika anda sampai dikantor... kemungkinan besar anda menyalakan komputer anda dan membaca artikel menarik di Internet. Entah via detik.com ataupun situs-situs lain yang serupa. Belum lagi pengguna smartphone. Dengan BlackBerry, misalnya, saya dengan mudah mendownload RSS news feed dan membacanya kala senggang. Belum lagi dengan aplikasi Mobipocket saya dapat meng-convert buku-buku digital gratis dalam format rtf atau pdb, dan membawanya didalam BlackBerry saya. Kegiatan-kegiatan itu sebenarnya sudah bisa disebut dengan 'membaca dengan media digital'. Apa saja yang menarik dari membaca digital?

  1. Selalu memperoleh edisi yang terbaru dengan online updates--ke depannya mungkin setiap penulis dapat mengupdate tulisannya di buku digital secara instan
  2. Murah atau gratis--terutama bila dapat disubsidi oleh iklan
  3. Bisa disimpan dengan mudah dalam satu device--praktis untuk dibawa traveling

Saya yakin, ngga lama lagi buku akan menjadi barang langka... atau mungkin menjadi penghuni museum. Google saja sudah mulai menyadur isi perpustakaan unversitas-universitas di Amerika ke dalam fomat digital agar mudah dicari dan dibaca dari belahan dunia manapun. Tentunya, ini akan menambah lagi derasnya trafik informasi di dunia maya yang sudah begitu kaya dengan information junk.
Tapi mungkin ada aspek lain dari buku konvensional yang tidak bisa tergantikan: kita tak perlu takut kehabisan batere dan rusak waktu tertindih badan saat tidur--ini pengalaman saya yah heheh--juga kita bisa mencium aroma khas dari kertas sebuah buku baru yang mengundang. Ngga berlebihan kan ya? belum lagi, buku konvensional dengan mudah bisa kita pinjamkan ke orang lain dan bisa disimpan untuk waktu yang hampir tak terbatas. Buku juga indah untuk dijadikan koleksi yang dipajang di dinding rumah. Jadi, apakah anda akan beralih ke buku digital, ataukah akan tetap dengan jalur konvensional?

Yang jelas, lakukan apa yang membuat anda semakin gemar membaca. Jika buku digital adalah jawabannya, sok atuh... gunakanlah fasilitas yang ada. Tidak perlu membeli Kindle atau Sony Reader... cukup dengan handset smartphone yang sekarang begitu banyak dipasaran dan gunakan aplikasi gratis untuk menyimpan dan membuka buku-buku digital itu. At the end of the day, inti dari membaca kan menambah ilmu dan sensivitas sosial. Saya yakin, kita akan semakin pintar dan berwawasan dengan semakin banyak membaca. Dan, mulailah dari sekarang...

Ayo membaca! and have a good day :)

Dony @ Home

Jumat, 23 November 2007

Art & Living Brief: Wajah Kota-kota Turis

Saya memang belum pergi seluruh benua yang ada di dunia ini, tapi alhamdulillah, saya sudah mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi beberapa negara baik untuk tujuan pribadi maupun bisnis. Nah, dari pengalaman inilah, saya mau share tentang topik kita sekarang: Kota-kota turis.

Pertanyaan inti dari topik ini adalah: Apakah Jakarta sudah siap menjadi kota turis? Atau mungkin lebih ekstrim lagi... Apakah Jakarta memang akan pernah cocok menjadi kota turis?
Sebuah kolom pembaca majalah Newsweek edisi Oktober 2007 menggelitik pikiran saya. Si pengirim, seorang 'European', begitu kecewa dengan hasil trip dia. Dia baru saja pulang dari Kuala Lumpur dan Beijing, mendapati kedua kota besar itu tidak berbeda satu sama lain... Tidak mempunyai karakter yang cukup untuk menjadi sebuah kota turis. Gedung-gedung bertingkat tinggi, plus mall-mall yang menjual branded products. Huh... Itu sih sangat mudah ditemukan di negeri sendiri. Membosankan. Dia sangat bangga bahwa eropa, walaupun negara-negaranya maju, tetap memiliki karakter berbeda disetiap kotanya. Gedung-gedung tua yang historikal, bangunan-bangunan lama yang simbolik menunjukan karakter kota tersebut, masih terawat dan terjaga dengan baik. It's true.
Saya pernah ke Shenzen dan Kuala Lumpur juga. Dan saya juga pernah ke Eropa. Sebagai turis, saya memang merasakan banget bedanya. Di Shenzen dan KL, saya mudah sekali bosan. Saya bingung harus ke tempat mana yang spesifik, yang bisa membuat sightseeing saya worthwhile. Ternyata sulit lho. Di KL memang ada menara KLCC yang begitu tingginya... But that's all. Saya pernah liat gedung tinggi di Jakarta. Isinya pun hanya mall dengan produk branded kelas atas. Di Jakarta ada. Shezen juga ngga ada bedanya.... Alias sama. Mungkin catch word-nya... Saya ngga dapet 'thrilling moment'-nya, dimana saya biasanya begitu excited melihat gedung yang begitu indah yang sangat beda dengan apa yang pernah saya lihat. Kayak kalo kita ke Bali lah...

Beda dengan Inggris dan Prancis, misalnya. London sangat berkarakter. Ditengah modernitas manusianya, gedung-gedung tua London masih bertahan. Gedung-gedung dengan tembok bata merah jaman Victorian bersanding dengan eloknya disamping gedung-gedung tua bertembok beton tapi berkarakter dengan guratan-guratan ornamen yang artistik, gaya Paris kala Napoleon. Bus dalam kota yang sudah beroperasi sejak 1930-an pun dipertahankan agar menambah nuansa romantis bagi pelancong asing. Sangat indah. Para performer pun menunjukkan bakat yang unik-unik di taman, jalan-jalan kecil... Aaaah andaikan Jakarta bisa punya taman seperti itu :(
Moreover, satu hal yang sangat signifikan untuk menjadi kota yang layak dikunjungi turis adalah fasilitas untuk pejalan kaki. Trotoar yang lebar, transportasi yang cepat dengan jumlah unit yg mencukupi dan papan-papan penunjuk transportasi umum yang informatif--kalo perlu dalam bahasa inggris--membuat turis yang mayoritas pengen menikmati keindahan dengan berjalan kaki menjadi nyaman dan secure.

Nah, sekarang kita liat Jakarta. Gedung2 tua bersejarah semakin banyak yang punah, terutama terkikis dikit demi sedikit oleh abrasi banjir yang datang tiap tahun. Selain itu? Another boring new modern malls... Yang bisa kita dapet di negara manapun. Taman kota sangat sedikit... Kalo pun ada, kotor dan dijajah oleh penjaja makanan liar. Fasilitas pejalan kaki? Much more horrible...
Trotoar sempit-sempit, dan kalaupun ada, sudah dijajah oleh warung2 dan sepeda motor sampai-sampai saya pengen menyarankan pejalan kaki memakai helm saja biar slamat. Motor-motor benar2 asosial. Saya pribadi, lebih takut ditabrak motor daripada mobil. They are reckless, egoistic assholes and have no social value at all by any means... For god's sake :(
Transportasi umum? Sami mawon. Petunjuknya pun ngga lengkap. Mau coba? Silakan cari halte terdekat di rumah atau kantor anda... Foto dan tunjukkan ke saya jika di halte ada petunjuk:
- bus apa saja yang lewat
- rutenya lewat mana aja
- jam berapa kira2 lewatnya
Dijamin 100% ga akan ada deeeeh hehehe :p

So, apakah kita siap jadi kota turis? Pemerintah sedang berusaha ke arah sana. Trotoar diperlebar, transportasi umum dibuat lebih nyaman. Tugas kita? Mendukung kebijaksanaan itu dan mengontrol pak Gubernur baru ini. Kita liat apa pak Fauzi Bowo bisa meneruskan kerja bang yos. So, keep optimistic!!

Have a great weekend!


Sent from my BlackBerry® wireless device from XL GPRS network

Sabtu, 20 Oktober 2007

Business Brief: Bundling--Sebuah Fenomena baru Perang Harga


Saat saya ingin menulis mengenai topik ini, jujur saya bingung apakah akan memasukkannya pada Business Brief ataukah Technology Brief. But, karena bundling adalah metode bisnis yang bisa berlaku di bidang manapun, maka saya masukkan ke kategori Business Brief. Sorry jika ada yang tidak berkenan :)

Jika anda perhatikan baik-baik belakangan ini, begitu banyak operator selular maupun Fixed-Wireless Access yang melakukan bundling dalam menawarkan layanannya. Bundling yang dilakukan bisa saja berupa perpaduan sekian banyak layanan yang berbeda, atau perpaduan antara layanan dan perangkat telekomunikasi yang digabung dalam satu paket murah. Hal ini sebenarnya sudah sangat lazim terjadi di operator asing di negara-negara maju untuk menjaring pelanggan baru.
Bundling pada awalnya diimplementasikan pada market postpaid. Mengapa begitu? Biasanya bundling disertai dengan suatu komitmen karena operator telah melakukan subsidi didepan terhadap layanan maupun perangkat telekomunikasi yang diberikan. Tujuannya adalah, agar si pelanggan otomatis akan terikat dengan kontrak yang bisa berlangsung antara 1 - 2 tahun dan pada kurun waktu itulah operator akan pelan-pelan mendapatkan revenue untuk menutup subsidi dan syukur-syukur mendapatkan margin untung yang signifikan. Customer retention adalah tujuan utamanya. Tentunya, untuk mendapat margin keuntungan yang signifikan, selama kurun waktu kontrak, operator juga harus melakukan penawaran terus-menerus atas layanan-layanannya yang lain sehingga pelanggan secara tidak sadar memakai lebih dari sekadar basic services.

Konsep dari bundling sendiri sebenarnya sangat sederhana. Setiap orang akan lebih enggan untuk mengeluarkan uang terlalu besar dimuka, dibanding dengan menyicilnya sedikit demi sedikit sehingga tanpa terasa semua biaya akhirnya tertutupi. Dan konsep itu dapat dikatakan hampir benar 100%. Jika anda pergi ke luar negeri, sebut saja UK misalnya, anda akan melihat begitu banyak paket-paket bundling yang, bahkan, menyatukan penggabungan beberapa layanan dan perangkat telekomunikasi. SMS, akses data, voice call dan handset terbaru di-bundling dalam satu paket murah dengan kontrak 2 tahun. Hanya dengan berbekal £0, pelanggan dapat membawa pulang handset terbaru--bukan tercanggih tentunya, tapi cukuplah...--dan menggunakannya saat itu juga untuk melakukan kegiatan komunikasi. Jika ingin handset tercanggih pun, mereka tidak perlu mengeluarkan kocek terlalu banyak dibandingkan dengan membeli handset langsung tanpa paket. Tentu operator berani melakukan hal ini bagi pelanggan postpaid karena untuk menjadi pelanggan postpaid setiap calon pelanggan harus melalui survey yang ketat atas kondisi keuangannya. Utility bills ataupun gaji bulanan adalah beberapa contoh komponen yang disurvey oleh operator. Hal ini pastinya sangat berguna bagi operator negara maju yang memang mayoritas penggunanya adalah pelanggan postpaid dan verifikasi data mudah dilakukan. Sedangkan, pada negara berkembang seperti Indonesia yang pelanggan postpaidnya tidak lebih dari 10%, tentunya hal ini tidak terlalu relevan.
Apakah yang dilakukan operator Indonesia?

Selain melakukan bundling untuk pelanggan postpaid, mereka mulai memberanikan diri untuk menawarkan bundling bagi pelanggan prepaid. Tindakan berani ini sudah mulai dilakukan beberapa operator FWA maupun selular. Lihat saja bagaimana Esia melakukan bundling dengan menjual layanan prepaidnya berikut low-cost handset ZTE seharga Rp. 199,000 saja. Laris bak kacang goreng. Langkah tersebut baru saja diikuti oleh Telkomsel dengan mengeluarkan bundling layanan kartuAS dengan low-cost handset Haier seharga Rp. 299,000. Indosat pun sempat melakukan hal yang sama dengan mem-bundling layanan prepaidnya dengan low-cost handset-nya Nokia. Bagaimana sebenarnya model bisnis bundling layanan prepaid ini? Mengapa mereka begitu berani?

Perlu diingat bahwa munculnya low-cost handset ini sendiri, atau yang populer disebut dengan Ultra Low-Cost Handset (ULCH), adalah gerakan yang mendunia. Tujuan mulianya adalah memberdayakan ekonomi masyarakat melalui kemudahan berkomunikasi dengan menyediakan handset yang affordable. Dimulai dengan initiatif GSMA untuk mentenderkan ULCH ke beberapa handset vendor yang kemudian dimenangkan oleh Motorola. Targetnya adalah meluncurkan produk handset GSM dengan harga tak lebih dari US$30. Gerakan ini disambut baik oleh beberapa operator dan vendor lain yang kemudian berusaha membuat hal serupa. Mengapa demikian? Dari trend yang ada saat ini, negara-negara berkembang adalah potensi terbesar market selular dengan tingkat penetrasi yang masih rendah dimana mayoritas market yang belum terjamah adalah masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah; Sementara negara-negara maju sudah masuk pada kondisi maturity dimana penetrasi bahkan sudah lebih dari 100%!
Selain itu, dengan lebih dari 400 produsen handset kelas C, Cina dapat mensupply operator dengan perangkat yang relatif murah dan fitur yang atraktif--mohon dikesampingkan dahulu masalah kualitas untuk yang satu ini :) Jadi, tren memang mengarah kesana.

Kembali ke masalah bagaimana bisnis model operator Indonesia, maka kita dapat melihat dua pendekatan bisnis. Pertama adalah sinergi dengan prinsipal vendor (atau distributor yang ditunjuk prinsipal); kedua adalah metode subsidi yang kurang lebih sama dengan model postpaid.
Perlu anda ketahui bahwa operator di Indonesia tidak memiliki hak untuk mengimpor handset. Hak ini hanya diberikan kepada distributor handset saja. Spiritnya tentunya adalah bagi-bagi kue rejeki. Operator hanya mempunyai hak untuk menjual layanan saja kepada pelanggan. Oleh sebab itu, bundling adalah langkah kamuflase yang tepat. Nah, untuk dapat memancing calon pelanggan memulai menggunakan layanan selular tentunya perlu melakukan bundling tersebut. Itulah sebabnya operator bekerjasama dengan prinsipal vendor handset... dan gayung pun bersambut. Untuk model ini, biasanya pihak vendor lah yang melakukan investasi handset (atau distributor yang ditunjuk) dan handset tentunya tetap menggunakan brand originalnya. Otomatis, harga handset masih relatif lebih mahal karena tidak ada subsidi dari pihak operator. Tapi mengapa handset bisa murah? Vendor yakin bahwa operator yang bekerjasama dengannya adalah operator besar yang dapat menjual handset melampaui batas minimum produksi. Pendekatan ini, tentu saja, hanya bisa berlaku pada operator-operator besar, seperti Telkomsel.
Untuk model yang kedua, operator melakukan investasi dengan membeli handset didepan, dan kemudian menjualnya dengan harga yang lebih murah (subsidi) dengan asumsi bahwa biaya subsidi dapat dikembalikan melalui pemakaian layanan--mirip dengan pendekatan bundling postpaid. Dengan kenyataan bahwa operator tidak dapat mengimpor handset, maka operator menunjuk distributor yang dipercaya atau distributor yang memang sister company untuk mengimpor handset tersebut on behalf of operator. Inilah yang dilakukan oleh Esia. Oleh sebab itu handsetpun dapat dibranding penuh oleh Esia dan di-lock hanya dapat digunakan pada network Esia. Hasilnya memang luar biasa. Dengan harga yang extra murah, handset menjadi sangat laku. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Mungkin anda masih ingat tragedi handset Samsung hasil bundling Fren yang di-unlock oleh beberapa oknum penjual HP yang berujung ke meja hijau. Tinggal tunggu waktu, handset Esia bisa bernasib sama bila tarif Esia tidak dijaga untuk terus menjadi yang termurah. Handset tetap Esia, tapi langganan ke operator lain. Itulah fenomena yang sekarang terjadi di Indonesia.

Bagaimana dengan trend di negara maju saat ini? Berdasarkan study yang dilakukan KPMG yang dipublikasikan pada situs cellular-news, operator negara maju mulai melakukan layanan yang lebih advance, yaitu bundling layanan multimedia triple-play. Apakah triple-play itu? Triple-play adalah gabungan antara video, suara dan data dalam satu kanal atau layanan multimedia. Hal ini sebagai langkah operator untuk menarik pelanggan baru ditengah kejenuhan pasar. Metode bundling ini dengan digabung dengan fitur unified billing, bertujuan akhir untuk mempermudah pelanggan sehingga menarik mereka untuk berpindah operator. Tetapi karena ujung-ujungnya harga bundling lah yang menjadi highlight dari program operator, alhasil akan bernasib sama: pelanggan berpindah operator hanya untuk menikmati harga yang murah dalam waktu singkat. Retensi bisa dikatakan tidak akan berhasil optimal. Hasil survey KPMG tersebut yang dilakukan dengan mengambil sample 4,400 pengguna di 16 negara (Asia, Amerika, Eropa) menunjukkan bahwa 57% pengguna mengganggap tarif atau harga sebagai pendorong utama untuk berpindah operator. Ternyata, tidak hanya orang Indonesia saja yah yang price sensitive :) Dari hasil ini dapat disimpulkan pula bahwa secanggih-canggihnya sebuah operator dalam mendeploy layanan triple-playnya, tidak akan berakibat banyak atas penambahan jumlah pelanggan. Pelanggan dapat berpindah operator dengan mudah bila ada tarif lebih murah. Mungkin ini bisa berlaku jamak bila number portability sudah digunakan di semua negara termasuk Indonesia. Tetapi bukan berarti pula hal tersebut tidak bisa terjadi saat ini juga. Dan fenomena handset Samsung Fren adalah contoh real.


Sekarang, bagaimana menurut anda? Apakah tarif tetap akan menjadi driver utama dalam memilih sesuatu? Ataukah masih ada driver lain yang lebih penting seperti: coverage/distribusi/availability atau fitur yang canggih? Apakah bundling masih menjadi metode yang efektif dalam mengakuisisi dan meretensi pelanggan, ataukah akhirnya hanya membebani expenditure operator dalam mensubsidi layanan?

Tentunya semua harus teruji di tahun-tahun ke depan. Argumen anda?


Have a nice weekend!


-dyn

Art & Living Brief: BlackBerry™ Addict

Anda pengguna BlackBerry? Kalau ya, anda kemungkinan besar sama dengan saya... Saya sering sekali secara tidak sadar mengecek layar BlackBerry saya, menunggu email datang atau teman menyapa via messenger atau sekedar SMS atau surfing internet. Kadang, bila tidak ada email masuk atau teman yang menyapa, saya mulai ngerasa nervous. What happens to everybody? Are they alive? Do they know I'm here online with my BlackBerry now? Dan mulailah saya berinisiatif membangun komunikasi baru, yang kadang ngga penting :). Dan itu berlangsung tiap hari. Itulah BlackBerry Addict, atau populer disebut dengan CrackBerry.
Saya sudah 4 tahun menjadi pemakai setia BlackBerry. Pernah suatu waktu saya coba berpindah ke smartphone yang lain--Nokia atau PocketPC--ternyata keduanya tidak memberikan kepuasan yang saya cari dan nikmati seperti selama saya memakai BlackBerry. Mengapa BlackBerry begitu spesial buat saya?

Sebelum saya melanjutkan tulisan ini, just for you info, saya tidak ada hubungan langsung dengan RIM (pemegang trademark BlackBerry), kecuali karena saya pernah membantu operator telekomunikasi dalam melaunching layanan ini. So, I'm not selling BlackBerry products now, or discrediting other mobile phone brands, but merely sharing my thoughts and experience. Saya yakin, setiap brand smartphone mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Again, kenapa BlackBerry begitu spesial buat saya?

Yang pertama adalah simplicity. Menu aplikasi BlackBerry sangat simple, dan full menu dapat diraih hanya dengan satu klik pada 'trackwheel' atau tombol 'BlackBerry'--pada device jenis terbaru--setiap saat. Kita tidak perlu repot untuk mengakses ke begitu banyak cascading menu.
Setup BlackBerry pun sangat mudah. Saya tak perlu lagi mengingat-ingat setting GPRS atau MMS, karena semuanya akan dipush dari network. Jika kita mengganti handheld dengan yang baru, otomatis setting akan dikirim ulang untuk handheld yang baru itu. Saat roaming pun, kita tidak perlu repot mengubah-ubah GPRS setting lagi. Sangat mudah bukan?

Kedua Fungsionalitas. Aplikasi yang disediakan bisa dibilang 90% terpakai dengan baik sesuai fungsinya, tidak sia-sia.
Saya suka dengan PocketPC yang begitu kaya dengan third-party software, tapi tidak semuanya ternyata saya perlukan. Sedangkan BlackBerry seperti dibuat sesuai dengan apa yang saya mau dan apa yang saya butuhkan dari sebuah smartphone, tanpa perlu third-party software. Contoh paling menarik adalah ketika membuka attachment. Dengan smartphone lain, file sebesar 300kb lebih akan susah dan lama untuk di download dan dibuka. Dengan BlackBerry, hal ini akan mudah dilakukan karena server BlackBerry akan melakukan transcoding dan kompresi sebelum file dikirim ke handset kita.
Handsetnya sendiri sangat rigid, apalagi untuk model2 yang lama. Dengan menggunakan bahan yang mirip seperti HP Motorola generasi awal StarTac, handset BlackBerry didesain kuat untuk jatuh dari ketinggian 4 tingkat. Uniknya lagi, batere didesain untuk mudah lepas saat jatuh. Maksudnya adalah agar data tidak corrupt bila jatuh ke air.
Untuk fungsi Keamanan, BlackBerry adalah yang nomor satu. Data dienkripsi menggunakan 3DES atau AES--keduanya minimal 128-bit encryption key--end-to-end dari handheld sampai server di kantor. So, tidak perlu takut data dapat dibaca orang lain saat diperjalanan. Jika handheld hilang, kita dapat menghapus semua data penting dari jauh sehingga pencuri tidak dapat menggunakan data-data kita tersebut untuk kejahatan.
Juga, walaupun BlackBerry generasi sekarang sudah memiliki Bluetooth, tidak mudah bagi hacker untuk mengaksesnya. Seluruh komunikasi harus di-initiate oleh pengguna BlackBerry dan dibuka untuk waktu yang sangat terbatas.

Ketiga, konektivitas. Masih berhubungan dengan fungsionalitas, BlackBerry memberikan 2 hal penting yang saya butuhkan dari smartphone: kemudahan komunikasi dan konsistensi konektivitas. Dua hal ini adalah kekuatan BlackBerry. Komunikasi data begitu mudah digunakan. Email benar-benar terintegrasi dengan server mail kantor dan saya dapat membuka situs-situs intranet kantor yang sangat berguna dalam melaksanakan pekerjaan. Belum lagi kemudahan untuk dapat mengontrol komputer dan server di kantor hanya dengan menggunakan satu device kecil ini. Hal ini bisa dimungkinkan dengan fitur VPN pada layanan BlackBerry Enterprise Server (BES) yang khusus bagi pengguna korporat. Kita juga punya kontrol yang tinggi terhadap email kantor kita. Apa yang kita lakukan pada email kita di handheld, termasuk deletion, dapat disinkronkan dengan server.
Konektivitas juga begitu konsisten. Saya menggunakan Yahoo Messenger, GTalk dan BlackBerry Messenger saat ini. Ketiga-tiganya dapat online secara bersamaaan tanpa mengambil terlalu banyak memory bahkan plus fitur yang tidak ada di client mobile messenger lain: conference chat. Dan lagi kita dapat meng-customize alert untuk setiap layanan: SMS, email, mms, Yahoo Messenger, GTalk, dan lainnya. Belum lagi browser dan peta plus GPS yang penuh dengan option dan mudah digunakan.

Keempat, tentunya Hemat. Memang kita perlu membayar lebih tiap bulan untuk berlangganan BlackBerry. Tapi dengan Rp199,000 contohnya jika menggunakan operator XL, kita sudah mendapatkan akses untuk 10 account email (kantor plus pribadi), unlimited data access jika menggunakan APN blackberry.net (jika browsing menggunakan internet browser atau blackberry browser), plus 50MB free jika menggunakan APN xlgprs (jika memakan WAP browser atau dialup via komputer sebagai modem). Jelas, saya tidak perlu takut lagi dengan bill shock karena data usage saya yang besar, karena data sudah unlimited.
Jika saya tugas ke luar negeri pun, saya tak perlu takut. Email dipotong-potong sebelum masuk, begitu juga email yang selain di transcoding dan dikompres juga di kirimkan secara staging. Contoh saja kita ingin melihat file gambar yang besarnya 3MB, setelah dikonversi maka akan berubah menjadi hanya puluhan kB saja, walau dengan resolusi lebih rendah. Jika kita membutuhkan resolusi lebih tinggi, kita tinggal merequest--dan itupun bisa dengan memilih bagian-bagian tertentu saja yang diperjelas. Hal yang sama dapat dilakukan untuk file dokumen.
Bagaimana dengan browsing? Tidak berbeda. Server browsing BlackBerry akan mentranscode dan kompres data sehingga lebih efisien dan mudah dibaca di handheld.

Nah, 4 point diatas lah yang menyebabkan BlackBerry terus melekat di tangan saya setelah 4 tahun, and make me a CrackBerry. Memang BlackBerry jaman 4 tahun yang lalu bentuknya masih sangat kuno... Tapi saya tetap saja cinta :)

BlackBerry juga bukan barang sempurna. Ada beberapa kekurangan BlackBerry yang bisa saya catat:

Teknologi Multimedia. BlackBerry masih kurang dalam hal yang satu ini, tetapi lambat laun mulai membenahi diri. Saat ini, kamera tidak bisa merekam video dan browser belum mensupport flash player dan streaming. Browser juga belum mensupport multitab yang sekarang populer untuk memudahkan browsing experience.

Single point of failure. Karena server pengontrol BlackBerry terpusat di Canada untuk melayani seluruh dunia, maka jika sesuatu terjadi disana atau link kesana putus, maka otomatis layanan tidak akan berfungsi. Hal ini sempat terjadi di Amerika, ketika server yang melayani daerah tersebut mengalami gangguan. Semua BlackBerry disana mengalami blackout selama 10 jam!

Mengedit dan membuat dokumen. Sampai saat ini, pengguna BlackBerry belum dapat mengedit dokumen yang di attach pada email. Begitu pula untuk membuat dokumen .doc, .xls atau .ppt, saat ini belum disupport. Pengguna hanya bisa melampirkan foto dan business card jika membuat email baru.

Selebihnya, BlackBerry is a nice piece of device :)
Ngga percaya? Silakan mencoba! Jangan salahkan saya jika anda nantinya become another BlackBerry addict hehehe...

Have a good day!

-dyn

Dony Yuliardi @ BlackBerry Curve via XL

Selasa, 16 Oktober 2007

Technology Brief: PTT part 1--PTT yang 'Hidup segan, Mati tak mau'

Saya yakin jika anda laki-laki, pernah di masa anda kecil berangan-angan menjadi prajurit atau polisi. Dengan lagak bagai seorang kapten, anda akan memegang mainan menyerupai Handy-Talky (HT) plus senjata api dan mulai menyusun strategi tempur bersama teman-teman. Dor! Dor! Senangnya masa itu... :)
HT mempunyai kelebihan tersendiri yang belum tergantikan oleh teknologi selular yang saat ini ada di Indonesia: murah, komunikasi instan dan layanan point-to-multipoint. Itulah yang membuat HT begitu spesial, yang membuat teknologinya masih terpakai terus sampai sekarang. PSS (Public Safety & Security)--temasuk polisi dan militer seperti ilustrasi diatas--adalah salah satu wilayah profesi yang sangat intens menggunakan teknologi ini, terutama untuk kebutuhan koordinasi dalam satu grup task force oleh sang komandan. Bahkan, untuk menambah jangkauan dan privacy pembicaraan, HT telah berkembang menjadi radio trunking dengan pendekatan teknologi semi-selular. Kemudian muncul satu pertanyaan baru: apakah dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat yang tujuannya mempermudah pengguna, setiap anggota PSS harus membawa 2 buah gadget, telfon selular dan HT? Jawabannya, tidak harus... Walau bukan berarti tidak 100%. So, why is that?

Bayangkan kemampuan HT ataupun radio trunking itu dapat diadopsi di telfon genggam yang sehari-hari kita bawa. Tentunya, segalanya menjadi lebih praktis. Konsep itulah yang membuat Nextel--sebuah operator selular di USA, sekarang SPRINT--pertama kali memperkenalkan teknologi Push-to-talk (PTT) over cellular, atau sering disebut sebagai POC, pada awal tahun 90-an. Sesuai dengan teknologi selular yang dipakai saat itu, iDEN, maka PoC pun masih dijalankan menggunakan jalur circuit switch (CS), yaitu jalur yang sama persis dengan komunikasi normal. Hanya saja, sesuai dengan nature of service-nya, PTT adalah tetap merupakan komunikasi half duplex dimana hanya salah satu pengguna yang dapat menggunakan jalur yang ada untuk berbicara ke pengguna yang lain. Penggunaan PoC atau PTT ini pun meningkat oleh pelanggan Nextel, mulai dari kegiatan amatir sampai profesional, terutama karena model pentarifannya yang semakin menarik. Pelanggan Nextel/SPRINT dapat menggunakan layanan ini hanya dengan membayar biaya bulanan saja. Kekurangan teknologi yang dipakai Nextel adalah masih digunakannya jalur circuit switch dan teknologi yang tidak standar--menggunakan iDEN yang proprietary Motorola. Penggunaan circuit switch (CS) dipandang terlalu kuno karena CS membatasi added value yang dapat dibangun dalam fitur layanan ini. Dengan CS, manfaat dari PoC hanya terbatas pada fitur standar HT.

Sejak awal abad 21, dengan mulai diperkenalkannya teknologi GPRS (General Packet Radio Service) pada GSM (atau IS-136) yang merupakan sistem selular terpopuler dan layanan data pada CDMA 1x, munculah konsep PoC yang baru, yang menggunakan jalur Packet Switch (PS) dan bukan lagi CS. PS adalah jalur data yang metode utilisasi kanalnya menggunakan metode Internet Protocol (IP), sehingga membuat utilisasi kanal lebih efisien. Pada GSM, akses GPRS bisa mengokupasi mulai 1 sampai 4 kanal frekuensi radio--yang umum diperbolehkan--dari total 8 kanal, sehingga menyisakan 7 sampai 4 kanal lain untuk keperluan suara. 1 kanal frekuensi saja dapat digunakan oleh lebih dari satu pengguna, dengan pembagian berdasarkan waktu (time division) dan model antrian First come, First serve. Contoh saja, dalam 1 kanal frekuensi akan digunakan oleh pengguna A, B dan C untuk mengakses GPRS. Maka, paket data (burst) pengguna akan mengantri berdasarkan waktu yang paling dulu sampai, misalnya: t1 untuk si A, t2 untuk si B, t3 untuk si A lagi, t4 untuk si C, dst. Disisi core network, data tadi akan dipisah sesampainya di BSC oleh modul PCU (Packet Control Unit) untuk diteruskan ke core GPRS network, yaitu SGSN dan GGSN, menggunakan IP protocol. Dengan koneksi menggunakan IP, begitu luas kemungkinan dan kesempatan mengawinkan begitu banyak aplikasi core berbasis IP dengan aplikasi handset.

PoC sebagai salah satu aplikasi pun mulai dirancang untuk menggunakan jalur IP ini via GPRS core network. Dengan menggunakan teknologi jalur data, aplikasi PoC dapat berkembang begitu luas. Bayangkan aplikasi PoC tersebut dalam bentuk buddy list layaknya aplikasi messenger. Jika ingin menghubungi seseorang secara instan, kita tinggal menekan salah satu anggota buddy list yang ingin dituju dan langsung berbicara. Banyak informasi dan aplikasi tambahan yang bisa diasosiasikan dengan buddy list tersebut selain push-to-talk: instant messaging, presence information (location, status, dll), group call (predefined, ad-hoc, instant), black/white list, push-to-transfer file, push-to-email, push-to-emergency access, push-to-video call dan push-to-action yang lainnya. Semuanya bisa dilakukan dengan pengembangan software aplikasi baik di sisi network maupun handset. Berdasarkan arsitektur, tentunya PoC platform berada di belakang GPRS network. Dari situlah, platform tersebut akan mengagregasi informasi yang didapat untuk kemudian diproses menjadi informasi yang berguna bagi lawan bicara.

Ditilik dari aplikasi-aplikasi yang mungkin diterapkan pada layanan PoC, banyak segmen yang potensial untuk masuk dalam target market PoC. Selain PSS, ada beberapa area profesional lain yang membutuhkan koordinasi grup yang instan. Contoh saja, pekerja lapangan penambangan minyak yang harus melakukan koordinasi instan di wilayah yang sangat berjauhan, dimana HT atau trunking tidak bisa menjangkau lagi. Bahkan, dengan spesifikasi baru dibawah OMA (Open Mobile Alliance), PTT dapat berjalan melalui jaringan Wifi/WLAN juga. Ini membuka kemungkinan makin besar untuk deployment PTT/PoC pada perangkat dual mode GSM/WLAN dengan melakukan ekstensi jaringan menggunakan WLAN yang berbiaya lebih murah... Atau mungkin bahkan WIMAX. WLAN adalah salah satu solusi mobile corporate yang sedang populer saat ini, digabungkan dengan layanan CUG (Corporate User Group) menggunakan IP PBX (semacam PABX menggunakan IP network).
Selain solusi bisnis ataupun profesional lainnya, PoC juga mempunyai potensi yang baik diwilayah retail. Kalangan muda adalah segmen yang paling potensial. Dengan model pentarifan yang masuk akal, mereka akan otomatis tertarik menggunakan PoC untuk berkomunikasi dalam sesama peer group mereka. Diskusi akan tambah menarik dengan kemampuan komunikasi instan dan group call (one-to-multipoint) di dalam satu peer group; apalagi jika buddy list bisa dengan mudah menunjukkan status dan posisi kawan. It's like reviving the old ORARI's days! :) tapi dengan solusi yang lebih canggih tentunya.
Melihat begitu banyak kegunaan yang dapat diberikan oleh PoC ini, mengapa layanan ini belum 'fly' juga sampai saat ini?

Ada dua problem utama dalam mengimplementasikan PoC yaitu standar teknologi PTT dan arsitektur core network yang dipakai untuk mendukungnya.

Standar PoC/PTT
Platform layanan PoC yang saat ini ada di market masih sangat vendor dependent atau proprietary. Beberapa vendor network--dipelopori oleh Motorola--membuat versi sendiri-sendiri untuk PoC ini, sehingga solusi yang ada belum dapat mengakomodasi perbedaan handset dan compatibility antara sistem PTT yang berbeda. Tetapi belakangan, dibawah bendera OMA dan 3GPP/3GPP2--dipelopori oleh Wireless Village di awal tahun 2000-an, beberapa vendor mulai bergabung dan sepakat membuat standar common platform. Problemnya, sampai saat ini pun sang standar urung rampung. Hal ini menyebabkan delay berkepanjangan terhadap deployment sistem PoC, walaupun sudah begitu banyak studi kelayakan yang menunjukan potensi positif. 2 vendor yang sangat aktif dalam melakukan deployment intermediary solution untuk PoC adalah Nokia (NSN) dan Motorola. Dominasi dan inisiatif kedua vendor network ini didorong oleh kebutuhan market maupun history mereka dalam bisnis PTT: Nokia, yang juga merupakan vendor handset dengan market share terbesar di dunia, sudah sejak awal tahun 2000an membekali handset GPRS mereka dengan software PoC; sangat disayangkan bila potensi ini tidak segera di-monetize dengan dukungan perangkat back-end network. Sedangkan Motorola, sebagai pelopor PTT, terus berusaha menempatkan dirinya sebagai leader di layanan ini. Oleh sebab itu, Motorola terus aktif mengembangkan sistem PTT-nya dan melakukan uji coba dengan beberapa operator telekomunikasi.
Saat ini sudah ada beberapa operator GSM yang men-deploy PoC baik dengan NSN atau Motorola atau solusi lain, tetapi belum dapat melakukan interkoneksi antar dua sistem yang berbeda. Dengan kata lain, roaming dan interkoneksi belum disupport oleh layanan ini. Tentu, hal ini mengurangi take-up rate layanan oleh market. Apalagi, pelanggan harus terlebih dahulu men-download software ke handheld mereka agar dapat bekerja secara compatible dengan sistem PoC yang di-deploy. Suatu hari nanti, jika standar solusi PoC sudah benar-benar seragam, kemungkinan besar acceptibility market terhadap layanan ini akan jauh lebih baik. Detail mengenai perkembangan standar solusi dan cara kerja PoC akan saya bahas pada PART 2.

Core Network
Problem kedua adalah arsitektur core network yang menunjang layanan ini. Layanan PoC sebenarnya lebih ideal bila beroperasi pada network yang sudah IMS-based. IMS (IP Multimedia Subsystem) adalah NGN (Next Generation Network) atau network generasi ke-4, yang menggunakan 'all IP' dalam jaringan networknya. Seperti kita ketahui, saat ini mayoritas operator masih menggunakan network generasi ke-3, seperti UMTS, dimana voice call ataupun video call masih menggunakan jalur TDM (time-division multiplexing) dengan voice trunking dan SS7 signalling yang membutuhkan dedicated bandwidth untuk setiap call. Pada IMS, seluruh komunikasi akan dibuat sangat efisien menggunakan protokol IP dalam bentuk data, sehingga tidak diperlukan dedicated bandwidth untuk setiap call. Otomatis, karena sudah menggunakan all IP, hampir tidak ada perbedaan antara network voice dengan GPRS--semua tergabung dalam IP core network. Disinilah kelebihan IMS, sehingga aplikasi-aplikasi tambahan pada buddy list dapat berfungsi dengan maksimal. Apalagi bila akses data sudah mencapai bitrate yang sangat tinggi, diskala Mbps ke atas. Karena IMS masih sangat mahal untuk diimplementasikan, belum lagi handset yang belum compatible, maka mau tak mau operator harus melirik solusi yang paling reasonable yang dapat ditunjang oleh existing network mereka.
Solusi PoC non-IMS adalah menggunakan metode server-based. Signal data suara akan berjalan pada jaringan data GPRS untuk kemudian dikirim ke server PoC yang terhubung ke jaringan GPRS. Inilah yang kemudian melakukan kontrol terhadap komunikasi PTT. Tentunya, solusi ini belum bisa dibilang ideal, tapi paling tidak sudah dapat mengakomodasi mayoritas fungsi PoC.
Detail mengenai perbedaan sistem akan saya jelaskan pada PART 2.

Jelaslah sekarang bahwa PTT atau PoC sangatlah potensial. Oleh sebab itu, handset Nokia pun sampai saat ini masih menempatkan menu PTT di firmware-nya. Sayangnya, ketidakseragaman standar sistem PTT menyebabkan solusi ini belum diadopsi oleh operator. Belum lagi pembuatan standar ini memakan waktu yang begitu lama, sehingga sampai saat ini standar belum juga rampung. Kapankah operator di Indonesia akan mengadopsi layanan ini? Tentunya mereka juga sedang dalam posisi wait-and-see. Mereka tidak akan mau gegabah melakukan investasi untuk sesuatu yang belum standar dan final. Sekarang, kita hanya bisa menunggu solusi ini rampung. Sampai saat itu terjadi, kita cuma bisa gigit jari membayangkan bermain PTT dengan rekan-rekan sekantor, atau teman bermain.
PTT... Malangnya nasibmu. Bagai hidup segan, mati tak mau...

-dyn



Dony Yuliardi @ BlackBerry Curve via XL

Jumat, 12 Oktober 2007

Business Brief: Grey Campaign vs. Black Campaign

Jika anda pernah ke Amerika atau suka membuka-buka situs www.ifilm.com, pasti anda sering tersenyum-senyum sendiri atau malah tertawa terpingkal-pingkal melihat betapa seru dan lucunya perusahaan yang bersaing disana membuat iklan yang secara langsung menjatuhkan produk pesaingnya. Sebut saja Coca Cola vs. Pepsi, atau Microsoft vs. Apple Mac. Secara terang-terangan mereka membuat materi iklan yang menyebut nama pesaing utamanya, membandingkan kemampuan antara keduanya, dan pada akhirnya menjelekkan produk pesaing. Terkadang bahkan, mereka membuat lelucon-lelucon yang ditujukan untuk mencela produk pesaing. Fungsi lelucon itu tentunya, agar kelemahan-kelemahan produk pesaing dapat dengan mudah dicerna dan diingat oleh pemirsa iklan. Pendekatan melalui aksi-aksi itulah yang disebut dengan Black Campaign, karena menitik beratkan pada sisi gelap/buruk produk pesaing utama, dan mengasosiasikannya dengan brand pesaing tersebut agar mudah diingat. Tentu, fenomena seperti ini sempat sangat asing di mata orang Indonesia. Kita, yang mencoba mencanangkan norma kesopanan adat timur dalam setiap sendi kehidupan, sudah terbiasa dengan iklan sopan--iklan yang hanya menyebutkan keunggulan produk yang dijual tanpa menyinggung produk kompetitor. Semangat ini, saya pikir, adalah semangat yang terpuji. Norma tersebut tentunya applicable diseluruh ranah dunia kompetisi masa lalu, termasuk dunia politik seperti pada masa kampanye pemilu ORBA--tenang, damai.

Tapi sepertinya Indonesia sudah berubah. Manusia-manusianya mulai bertransformasi, mensinkronkan dirinya secara otomatis dengan iklim persaingan global yang 'bebas'. Hal ini, tentu saja, terjadi karena mulai terusiknya kestabilan akibat persaingan yang begitu ketat, potensi market yang semakin kecil, dan floating mass yang semakin kritis terhadap mutu dan pelayanan. Layaknya harimau lapar, pada saat keadaan menuntut kadar survival lebih tinggi daripada sekedar aktualisasi diri, maka siapapun yang menghadang harus siap cakar-cakaran... Kalau perlu, 'bunuh-bunuhan'. Itulah wajah kapitalisme. Dan Black Campaign adalah fenomena yang mungkin akan mulai merasuki kancah persaingan bisnis dan politik negeri ini. Lihat saja bagaimana para pendukung calon presiden atau anggota partai mulai mengambil simpati calon konstituen mereka--terutama yang berstatus floating mass--dengan cara membeberkan kesalahan atau keburukan rival terdekat, baik benar atau dibuat-buat, ke media pers yang semakin kuat peranannya dan mudah disuap (no offense, teman2 pers). Mengerikan memang... Dan seakan tanpa hati nurani sama sekali, terlihat kampungan. Sayang, sebagian besar pelaku politik kita tidak bisa bermain politik dengan smooth, mereka masih melakukannya dengan terlalu kasar. Ya, itulah fenomena yang sudah memasuki kancah persaingan politik negeri kita.

Bagaimana dengan pelaku bisnis? Mungkin tidak jauh berbeda. Saat ini, mereka mulai memperlihatkan gejala serupa. Lihat saja beberapa iklan minuman penyegar yang memperlihatkan botol pesaingnya sebagai komparasi; walau image-nya sedikit di-blur untuk mengesankan tidak adanya intensi untuk menjelek-jelekkan produk pesaing, pemirsa iklan bisa dengan mudah menebak brand yang diserang--baik dari bentuk botol maupun warna yang dominan. Begitu pula dengan produk lain seperti sabun cuci baju, insektisida, dan lain sebagainya. Yang menarik adalah mereka tetap tidak mau terlihat terang-terangan menyerang. Brand pesaing tidak pernah disebut atau diperlihatkan dengan jelas. Mungkin mereka tidak mau dicap sebagai perusahaan yang suka menjelek-jelekkan produk perusahaan lain, atau memang pemirsa kita belum siap untuk itu sehingga jika diterapkan hal itu bisa saja jadi senjata makan tuan--mereka bis dituduh sebagai pemfitnah. Seingat saya, secara kode etik periklanan kita juga model Black Campaign tidak diperbolehkan (mohon bantuan temen2 praktisi atau regulator periklanan untuk yang satu ini). Oleh sebab itu, kita tidak perlu takut. Indonesia tetap Indonesia. Manusia Indonesia masih punya nurani ketimuran yang secara tidak sadar menyetop kegiatan-kegiatan diluar norma yang tercatat di memory bank otak tak sadar kita sejak kita kecil. Maka, bentuk persaingan yang masih ada masih relatif terkontrol dan pelaku bisnis masih melakukannya dengan cukup elegan.

Yang menarik sebetulnya adalah, impact dari fenomena diatas. Dengan kenyataan adanya kebutuhan Black Campaign dari para pengiklan dan, secara kontradiktif, adanya kebutuhan untuk tetap dianggap sebagai perusahaan putih oleh pemirsa iklan--perusahaan yang dianggap baik dan tidak suka memfitnah pesaing--maka terjadilah bentuk campaign baru, yang saya sebut sebagai Grey Campaign. Grey Campaign dalam konsep saya sebenarnya adalah Black Campaign yang tanggung, yang terbataskan oleh norma sosial. Tak seperti di Amerika sebagaimana saya jelaskan diawal artikel, tapi lebih seperti contoh iklan larutan penyegar tadi. Apa impact dari model tersebut? Karena tidak dapat memperlihat kan image/brand produk kompetitor, pengiklan harus berusaha mencari kelemahan pesaing dari segi yang lain... Hal-hal buruk yang biasanya disembunyikan oleh pesaing dari pelanggannya. Tendensinya adalah lebih melakukan cross education kepada publik, walaupun dengan lebih menekankan pada kelemahan pesaing. Pengiklan tentunya selalu mengiklankan produknya dengan melebih-lebihkan manfaat produk dan menutupi kekurangannya. Grey campaign bisa secara tidak langsung mengajarkan kepada publik mengenai potensi kelemahan atau kelemahan produk pesaing, sehingga calon pelanggan diajak untuk berpikir kembali sebelum membeli. Langkah ini sangat baik untuk membuat publik lebih hati-hati dalam memilih produk. Dan para pelaku bisnis otomatis akan berusaha memperbaiki mutu dan pelayanan atas produk-produknya dan juga memperbaiki cara penyampaian informasi produk mereka ke pelanggan dengan berusaha untuk lebih jujur, agar tidak lagi diserang oleh para kompetitornya.
Contoh paling menarik adalah duel produk GSM antara Mentari Indosat dan Bebas XL baru-baru ini. Dengan persaingan usaha dan target revenue yang semakin tinggi, operator terbesar ke-2 dan ke-3 di Indonesia ini bertempur habis-habisan di wilayah brand cash cow mereka. Keduanya mulai melakukan praktik Grey Campaign yang cukup heboh dan berskala nasional (lihat gambar). Sebenarnya praktik ini tidak bisa dibilang baru di dunia selular. Dimulai dengan iklan Esia yang menjelek-jelekkan produk operator lain sejak masuknya Eric Meijer dijajaran direksi, operator lain lambat laun ikut ambil bagian dalam metode ini. Dengan 10 operator memegang lisensi GSM dan CDMA, bisa dibayangkan begitu chaos-nya bagi-bagi market share di dunia telekomunikasi. Mereka berlomba-lomba menawarkan produk yang memiliki benefit yang paling pas untuk market, dan kadang membungkus syarat-syarat sehingga tak terlihat olen calon konsumen. Iklan terus bergerak ke arah hardselling. Persaingan lebih terasa lagi di wilayah-wilayah regional sales. Mereka berjuang untuk mencapai target sales mereka, sehingga melakukan gerilya untuk menjatuhkan lawan melalui Black Campaign--bukan lagi grey campaign. Bingungkah masyarakat? Termakankah mereka dengan iklan-iklan itu?

Masyarakat mungkin letih dan bingung melihatnya; tapi bagaimanapun, mereka senang mendapatkan penjelasan dua belah pihak yang berseberangan mengenai produk yang ingin mereka pakai. Mereka otomatis akan menaikkan alarm di kepala mereka agar lebih hati-hati lagi dalam memilih produk. Disinilah jelas kelebihan Grey Campaign. Bagaimana dengan Black Campaign? Black Campaign mungkin tidak cukup mendidik. Bahkan tendensinya merusak reputasi orang lain. Black Campaign tidak memaksa pelanggan untuk berpikir kembali dalam memilih produk. Mereka mem-push publik untuk setuju dengan argumen mereka mentah-mentah. Dan tentunya, masyarakat tidak akan respect dengan perusahaan yang melakukan Black Campaign, karena tindakan menjelek-jelekan brand tertentu secara jelas dan menyebut nama brand pesaing sangatlah tidak etis. Itu seperti menghalang-halangi rejeki orang lain. Ingat, kita masih punya norma budaya ketimuran. Setiap perusahaan tetap harus menghargai produk perusahaan lain, karena mereka bersama2 membangun negeri ini untuk menjadi lebih baik. Semangatnya haruslah membangun dan mendidik, bahwa grey campaign lebih untuk mengoreksi pengertian publik, bukan sekedar menyerangnya. Semangat itulah yang harus dipupuk. Tidak ada produk yang sempurna.

At last, kita harus mewarisi budaya yang baik ke generasi-generasi selanjutnya. Mereka harus peduli atas hak-hak konsumen dan respek terhadap lawan kompetisi mereka. Mereka harus belajar sportif. Jika saya boleh memilih, saya akan ambil Grey Campaign, dan membuang jauh-jauh Black Campaign. Tentunya ini bukan paksaan. Toh, kita dapat belajar bagaimana disetiap pertandingan akan diakhiri dengan bersalam-salaman... Yang tujuannya menciptakan kedamaian.
Bagaimana dengan anda?

Selamat hari Idul Fitri 1428H. Mohon maaf lahir dan bathin.
-dyn

Keterangan foto: iklan Bebas XL dan Mentari Indosat yang mulai saling menikam.
Dony Yuliardi @ BlackBerry Curve via XL

Kamis, 11 Oktober 2007

Business Brief: Go worldwide? NOW is the time

Dulu di jaman sebelum krisis moneter 1997-98, saya begitu kagum dengan konglomerasi Indonesia. Didukung dana sangat besar dan kekuasaan ORBA yang tak tergoyahkan, seakan mereka menggeliat dengan nikmatnya merambah hampir semua lini bisnis--vertikal maupun horisontal. Sebut saja Grup Salim, Grup Subentra, Grup Humpuss, Grup Bimantara dan lainnya, tentunya sangat tidak asing ditelinga kita saat itu. Dulu, dengan kekaguman, saya sering membayangkan dan menunggu-nunggu mereka dengan kekuatan yang mereka miliki saat itu bisa merambah wilayah bisnis yang lebih luas mencapai pucuk-pucuk mancanegara. Pastinya, saya sebagai bagian bangsa ini akan ikut bangga dengan prestasi mereka. Tapi siapa nyana, saat itu tak kunjung tiba, bahkan harus pupus ditelan krisis yang melanda negeri ini bersama dengan tenggelamnya kekuasaan orde baru. Jelas, mereka bukannya jatuh miskin--saya yakin mantan-mantan pemilik konglomerasi ini masih memilik pundi-pundi kekayaan yang mereka simpan dalam sekian dekade--mereka masih hidup layak walau sebagian memang sempat masuk penjara untuk waktu yang singkat, dan sebagian lagi hilang begitu saja bak ditelan bumi tak terlihat batang hidungnya lagi. Semua itu memang resiko bisnis yang sangat bergantung pada rezim yang berkuasa saat itu. Tapi apakah hanya itu penyebabnya? Sangat menarik bahwa kenyataannya ada bisnis-bisnis besar lain yang tidak terlalu goyah diterpa angin krisis. Mereka berhasil survive dengan kekuatan bisnis mereka. What is the culprit?
Mereka yang sukses untuk survive adalah perusahaan yang taktis dalam melakukan change management, selain juga mungkin tingkat dependensi yang relatif lebih rendah terhadap kekuasaan itu. Restrukturisasi hutang maupun organisasi, pengetatan budget dan perampingan bisnis adalah beberapa contoh action yang mereka lakukan. Saat ini, untungnya, masih dapat kita lihat contoh perusahaan tersebut: Bakrie, Ciputra, Sampoerna, Summarecon dan lainnya. Intinya, mereka mau berubah. Krisis memang mengajarkan manusia banyak hal, membentuk pribadi-pribadi baru yang lebih baik untuk menahan goncangan. Tahun-tahun berikutnya, mulailah tumbuh konglomerasi baru yang dulunya tak pernah terdengar, mereka-mereka yang menggeliat dengan profesional untuk menembus badai. Mungkin mereka bendera baru dengan dana lama, mungkin mereka memang baru seutuhnya. Yang jelas, dengan persaingan yang semakin bebas, konglomerasi baru ini dituntut untuk bisa membuat perusahaan yang bonafide yang dijalankan dengan prinsip-prinsip modern yang lebih profesional. Memang tidak bisa kita lepas begitu saja bisnis dari kekuasaan, dan tidak semua learning untuk membuat organisasi yang modern. Tinggal tunggu waktu saja, mereka yang terlalu bergantung dengan kekuasaan baru yang saat ini shifting dengan cepat--bayangkan saja, 4 presiden dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun--someday akan ditelan oleh waktu. Mereka harus belajar kembali, masuk 'kampus krisis'.

Saya baru saja menemukan sebuah statement menarik di majalah Newsweek edisi 8 Oktober 2007 ini, yang menyatakan bahwa 61 perusahaan yang terdaftar di Fortune500 ternyata berasal dari negara berkembang--sebuah perkembangan pesat dari hanya 28 perusahaan 10 tahun yang lalu. Perusahaan-perusahaan kelas dunia yang berasal dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa mulai kalang kabut kehilangan market share mereka. Pesaing mereka dari negara berkembang telah berhasil melakukan shift of power sedikit demi sedikit sehingga nilai capital power mulai berpindah tangan di beberapa lini industri. Dulu, orang tidak kenal Samsung, tidak kenal Hyundai, tidak kenal Lenovo juga tidak kenal Cemex. Saat ini, brand-brand itu sudah merajalela di berbagai belahan dunia. Samsung sudah berubah menjadi brand yang sangat reliable dalam bidang elektronika. Bahkan, penjualan flat TV-nya pun sudah melampaui Sony yang sebelumnya merupakan leading brand. Penjualan handsetnya juga sudah mulai melampaui Motorola dan dipenuhi begitu banyak inovasi. Samsung memang sebuah fenomena. Lenovo juga tidak jauh berbeda. Dunia dikejutkan dengan dibelinya divisi personal computing IBM oleh Lenovo. Sebuah perusahaan yang begitu besar dan dikenal dengan super komputernya, dibeli oleh sebuah perusahaan Cina yang namanya masih sangat asing ditelinga. Cemex pun tidak kalah seru ceritanya. Bermula dari sebuah toko semen di Mexico, Cemex berhasil mengembangkan sayapnya hingga menjadi produsen semen ketiga terbesar di seluruh dunia sejak tahun 1990-an. Yang menarik, Cemex menjadi besar bukan hanya karena harga yang kompetitif--seperti tipikal perusahaan negara berkembang yang lain--tapi mereka melakukan inovasi demi efisiensi dan efektifitas produksi dan distribusi produk sehingga memenuhi kebutuhan klien yang selama ini belum terjawab. Dengan beraninya, Cemex menggunakan teknologi informasi seperti GPS untuk mengontrol dan mengefisiensikan distribusi semen mereka. Samsung pun tak kalah inovatifnya. Bisa dibilang saat ini Samsung sudah mulai menjadi leader consumer electronic dengan begitu banyak inovasi baru dan cakupan industri yang vertikal, dari pembuatan komponen chip sampai barang elektronik siap pakai. Hyundai juga tak kalah serunya. Sebagai perusahaan otomotif Korea yang seringkali dituduh sebagai pengkopi, Hyundai membuat pusat riset dan desain di Amerika sehingga menciptakan produk-produk inovatif yang sesuai dengan taste negara market otomotif terbesar di dunia itu. Hasilnya? Penjualan yang eksponensial. Banyak lagi contoh-contoh lain yang serupa. Yang jelas, perusahaan-perusahaan multinasional dari negara berkembang telah berhasil mencapai pertumbuhan aset dan kapital di pasar modal dari $80 milyar menjadi $6.4 triliun dalam 25 tahun, dengan pertumbuhan 10 kali perusahaan Amerika dan 34 kali perusahaan Jepang. Luar biasa.
Temuan yang lebih menarik lagi adalah bahwa dari 25 perusahaan multinasional asal negara berkembang yang sekarang merajai pasar dunia itu, menurut survey Von Agtmael, 10 berasal dari Amerika Selatan dan hanya 1 yang berasal dari Asia Tenggara. Apakah yang menjadi penyebabnya? Bukankah dulu ditengarai bahwa negara-negara di Asia Tenggara akan menjadi macan-macan Asia yang mendunia? Ternyata, macan kita masih ompong.
Perusahaan-perusahaan Amerika Selatan yang mayoritas telah menganut sistem kapitalisme sejak berpuluh-puluh tahun, mampu menempa diri mereka untuk belajar bersaing dan survive dalam persaingan di negara mereka masing-masing. Pada akhirnya, mereka telah siap dan berpengalaman untuk berani bertarung di kelas dunia. Sementara, perusahaan di Asia Tenggara terlalu terbiasa dimanja oleh kekuasaan dan seringkali belum PeDe untuk bisa go worldwide.
Kenyataannya adalah bahwa baik perusahaan Amerika Selatan, Korea ataupun Asia Tenggara, semuanya melalui krisis ekonomi yang melanda hampir berbarengan pada era 90-an. Semuanya mengalami perubahan ekonomi makro yang dahsyat, yang menyebabkan utang mereka membengkak dan memaksa mereka melakukan perubahan yang radikal agar survive.

Menilik semua kesamaan yang ada, tidak ada alasan yang cukup sebenarnya untuk perusahaan-perusahaan besar--juga perusahaan menengah, tentunya-- di Indonesia untuk tidak berpikir 'Go Worldwide'. Dengan resources kita baik alam maupun manusianya, kita punya kemampuan yang tidak banyak berbeda dengan rekan-rekan di negara berkembang lain. Menurut saya 3 hal yang perlu kita persiapkan adalah: kepercayaan diri as a winning team (baca: PeDe), berpikir inovatif dan quality oriented.
Kepercayaan Diri adalah masalah utama bangsa ini. Selama kita menganggap para bule yang menyeberang di jalan Jaksa lebih hebat dari kita, disitu pula kita harus lihat kenyataan bahwa kita masih belum PeDe :-) Potensi diri kita tidak akan tergali maksimal saat psikologi dalam diri kita membatasi ruang gerak kita dengan berkata 'ah, aku belum mampu', 'ah, aku takut' dan pikiran-pikiran negatif berorientasi nervousness lainnya. Come on... Bangsa kita adalah salah satu dari segelintir bangsa di dunia yang mendapatkan kemerdekaan dengan perjuangan diri sendiri. Kita juga salah satu dari segelintir negara yang berhasil menghalau komunis dengan kemampuan sendiri, sampai pemerintah Filipina saat itu meminta institusi intelijen kita melatih mereka menghadapi gerakan revolusi komunis dalam negri mereka. Belum lagi jika kita lihat sekarang, begitu banyak putra Indonesia yang memenangkan berbagai olimpiade keilmuan di tingkat internasional. Bagaimana membedakan winning team atau bukan? Liat saja perbedaan permainan Susi Susanti dengan team PSSI kita diajang internasional. Dengan semangat the winning team, otomatis kita akan push ourselves to the limit. Buanglah jauh-jauh rasa rendah diri; cukup simpan rasa rendah hati. Pada akhirnya, hanya kita sendirilah yang bisa meyakinkan diri kita bahwa 'KITA SIAP'.
Berpikir Inovatif merupakan langkah besar menuju perusahaan yang berpotensial dominan di tingkat International. Ingat prinsip ATM? Analisa, Tiru, Modifikasi. Konsep itu memang harus dipakai pada awal membangun perusahaan. Apalagi untuk kita negara berkembang yang mengandalkan biaya human resources yang rendah. Tetapi, pada tahap selanjutnya, kita harus memiliki inovasi yang brilian, yang benar-benar baru sehingga kita memiliki diferensiasi produk yang mendasar dibanding dengan perusahaan lain yang serupa. Contoh saja perusahaan Haier dari Cina yang sekarang telah mengakuisisi Maytag--salah satu perusahaan White Good terbesar di Amerika. Seluruh karyawan engineering yang bekerja di sana, harus mempunyai ide inovasi baru atas produk yang akan dibuat. Mereka tidak lagi mau dianggap sebagai perusahaan Cina yang selalu mengcopy produk-produk barat. Mereka mulai bertransformasi menjadi pelopor teknologi dan desain. Saya yakin kita mampu untuk itu. Kita harus berpikir sintesis, tidak lagi analisis belaka. Banyak lulusan S3 di Indonesia menganggurkan potensi pikiran mereka karena tidak tersedianya perusahaan R&D yang berorientasi membangun inovasi baru, bukan sekedar meniru.
Yang terakhir, Quality Oriented. Semua inovasi, semua produk, tidak akan berhasil survive di pasar tanpa quality yang baik. Kualitas disini luas sifatnya. Mulai dari saat produk didesain, diproduksi, diperjualbelikan, sampai layanan purna jualnya. Semua proses menuntut kualitas yang sempurna, dan perusahaan harus menanamkan konsep itu dalam keseharian kultur perusahaan. Itulah yang populer disebut dengan TQM, atau Total Quality Management. Perusahaan harus selalu berani mengintrospeksi diri untuk menjadi lebih baik. Jepang adalah contoh yang terbaik untuk ini. Dan saya yakin, manusia Indonesia mampu untuk menuju ke arah ini.

At last, Utopia saya kali ini adalah mimpi saya melihat perusahaan Indonesia satu-persatu menjadi perusahaan multinasional yang berhasil shifting the wealth of the world to South East Asia, seperti fenomena yang terjadi di Asia Utara dan Amerika Selatan. Perusahaan Indonesia telah menunjukkan kemampuan mereka untuk survive melewati badai krisis; dan saya yakin 99% mereka (atau mungkin kita) pasti mampu 'GO WORLDWIDE' jika mau bermimpi lebih tinggi lagi. Just DO it!... NOW is the TIME!

-dyn

Dony Yuliardi @ BlackBerry Curve via XL

Minggu, 07 Oktober 2007

The Briefs

I have a philanthropic objective by building this blog: I want the world to know what I thought, which who knows, might help anyone out there to change for a better world. Klise? Mungkin.... Yang jelas, mudah2an isinya tidak seklise tujuannya :-)
In the future, saya akan membuat 4 jenis Briefs, yang tujuannya untuk menggelitik anda yang membaca untuk berpikir tentang apa yang saya pikirkan. Tentunya saya akan lebih senang jika tulisan saya bisa menambah khazanah keilmuan dan pengetahuan anda... Tentunya untuk tujuan baik ya... He he he :)
Keempat briefs tersebut adalah:
- Business Brief
- Technology Brief
- Politics Brief
- Art & Living Brief

Inget, saya pastinya akan butuh komen dari anda. I want to make every single topic as a live discussion topic. Apa yang saya tulis belum tentu benar, dan komentar anda belum tentu salah. Therefore, your ideas are most welcome.
Paling tidak, dengan anda sudah berkomentar, itu menandakan anda tetarik dengan tulisan saya--terlepas secara positif maupun negatif. Satu hal, saya ngga mau blog ini jadi ajang SARA. So, mohon maaf bila komentar yang berbau SARA otomatis tidak saya approve.

Enjoy my writings!

Cheers...
Dony Yuliardi @ BlackBerry Curve via XL