Sabtu, 20 Oktober 2007

Business Brief: Bundling--Sebuah Fenomena baru Perang Harga


Saat saya ingin menulis mengenai topik ini, jujur saya bingung apakah akan memasukkannya pada Business Brief ataukah Technology Brief. But, karena bundling adalah metode bisnis yang bisa berlaku di bidang manapun, maka saya masukkan ke kategori Business Brief. Sorry jika ada yang tidak berkenan :)

Jika anda perhatikan baik-baik belakangan ini, begitu banyak operator selular maupun Fixed-Wireless Access yang melakukan bundling dalam menawarkan layanannya. Bundling yang dilakukan bisa saja berupa perpaduan sekian banyak layanan yang berbeda, atau perpaduan antara layanan dan perangkat telekomunikasi yang digabung dalam satu paket murah. Hal ini sebenarnya sudah sangat lazim terjadi di operator asing di negara-negara maju untuk menjaring pelanggan baru.
Bundling pada awalnya diimplementasikan pada market postpaid. Mengapa begitu? Biasanya bundling disertai dengan suatu komitmen karena operator telah melakukan subsidi didepan terhadap layanan maupun perangkat telekomunikasi yang diberikan. Tujuannya adalah, agar si pelanggan otomatis akan terikat dengan kontrak yang bisa berlangsung antara 1 - 2 tahun dan pada kurun waktu itulah operator akan pelan-pelan mendapatkan revenue untuk menutup subsidi dan syukur-syukur mendapatkan margin untung yang signifikan. Customer retention adalah tujuan utamanya. Tentunya, untuk mendapat margin keuntungan yang signifikan, selama kurun waktu kontrak, operator juga harus melakukan penawaran terus-menerus atas layanan-layanannya yang lain sehingga pelanggan secara tidak sadar memakai lebih dari sekadar basic services.

Konsep dari bundling sendiri sebenarnya sangat sederhana. Setiap orang akan lebih enggan untuk mengeluarkan uang terlalu besar dimuka, dibanding dengan menyicilnya sedikit demi sedikit sehingga tanpa terasa semua biaya akhirnya tertutupi. Dan konsep itu dapat dikatakan hampir benar 100%. Jika anda pergi ke luar negeri, sebut saja UK misalnya, anda akan melihat begitu banyak paket-paket bundling yang, bahkan, menyatukan penggabungan beberapa layanan dan perangkat telekomunikasi. SMS, akses data, voice call dan handset terbaru di-bundling dalam satu paket murah dengan kontrak 2 tahun. Hanya dengan berbekal £0, pelanggan dapat membawa pulang handset terbaru--bukan tercanggih tentunya, tapi cukuplah...--dan menggunakannya saat itu juga untuk melakukan kegiatan komunikasi. Jika ingin handset tercanggih pun, mereka tidak perlu mengeluarkan kocek terlalu banyak dibandingkan dengan membeli handset langsung tanpa paket. Tentu operator berani melakukan hal ini bagi pelanggan postpaid karena untuk menjadi pelanggan postpaid setiap calon pelanggan harus melalui survey yang ketat atas kondisi keuangannya. Utility bills ataupun gaji bulanan adalah beberapa contoh komponen yang disurvey oleh operator. Hal ini pastinya sangat berguna bagi operator negara maju yang memang mayoritas penggunanya adalah pelanggan postpaid dan verifikasi data mudah dilakukan. Sedangkan, pada negara berkembang seperti Indonesia yang pelanggan postpaidnya tidak lebih dari 10%, tentunya hal ini tidak terlalu relevan.
Apakah yang dilakukan operator Indonesia?

Selain melakukan bundling untuk pelanggan postpaid, mereka mulai memberanikan diri untuk menawarkan bundling bagi pelanggan prepaid. Tindakan berani ini sudah mulai dilakukan beberapa operator FWA maupun selular. Lihat saja bagaimana Esia melakukan bundling dengan menjual layanan prepaidnya berikut low-cost handset ZTE seharga Rp. 199,000 saja. Laris bak kacang goreng. Langkah tersebut baru saja diikuti oleh Telkomsel dengan mengeluarkan bundling layanan kartuAS dengan low-cost handset Haier seharga Rp. 299,000. Indosat pun sempat melakukan hal yang sama dengan mem-bundling layanan prepaidnya dengan low-cost handset-nya Nokia. Bagaimana sebenarnya model bisnis bundling layanan prepaid ini? Mengapa mereka begitu berani?

Perlu diingat bahwa munculnya low-cost handset ini sendiri, atau yang populer disebut dengan Ultra Low-Cost Handset (ULCH), adalah gerakan yang mendunia. Tujuan mulianya adalah memberdayakan ekonomi masyarakat melalui kemudahan berkomunikasi dengan menyediakan handset yang affordable. Dimulai dengan initiatif GSMA untuk mentenderkan ULCH ke beberapa handset vendor yang kemudian dimenangkan oleh Motorola. Targetnya adalah meluncurkan produk handset GSM dengan harga tak lebih dari US$30. Gerakan ini disambut baik oleh beberapa operator dan vendor lain yang kemudian berusaha membuat hal serupa. Mengapa demikian? Dari trend yang ada saat ini, negara-negara berkembang adalah potensi terbesar market selular dengan tingkat penetrasi yang masih rendah dimana mayoritas market yang belum terjamah adalah masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah; Sementara negara-negara maju sudah masuk pada kondisi maturity dimana penetrasi bahkan sudah lebih dari 100%!
Selain itu, dengan lebih dari 400 produsen handset kelas C, Cina dapat mensupply operator dengan perangkat yang relatif murah dan fitur yang atraktif--mohon dikesampingkan dahulu masalah kualitas untuk yang satu ini :) Jadi, tren memang mengarah kesana.

Kembali ke masalah bagaimana bisnis model operator Indonesia, maka kita dapat melihat dua pendekatan bisnis. Pertama adalah sinergi dengan prinsipal vendor (atau distributor yang ditunjuk prinsipal); kedua adalah metode subsidi yang kurang lebih sama dengan model postpaid.
Perlu anda ketahui bahwa operator di Indonesia tidak memiliki hak untuk mengimpor handset. Hak ini hanya diberikan kepada distributor handset saja. Spiritnya tentunya adalah bagi-bagi kue rejeki. Operator hanya mempunyai hak untuk menjual layanan saja kepada pelanggan. Oleh sebab itu, bundling adalah langkah kamuflase yang tepat. Nah, untuk dapat memancing calon pelanggan memulai menggunakan layanan selular tentunya perlu melakukan bundling tersebut. Itulah sebabnya operator bekerjasama dengan prinsipal vendor handset... dan gayung pun bersambut. Untuk model ini, biasanya pihak vendor lah yang melakukan investasi handset (atau distributor yang ditunjuk) dan handset tentunya tetap menggunakan brand originalnya. Otomatis, harga handset masih relatif lebih mahal karena tidak ada subsidi dari pihak operator. Tapi mengapa handset bisa murah? Vendor yakin bahwa operator yang bekerjasama dengannya adalah operator besar yang dapat menjual handset melampaui batas minimum produksi. Pendekatan ini, tentu saja, hanya bisa berlaku pada operator-operator besar, seperti Telkomsel.
Untuk model yang kedua, operator melakukan investasi dengan membeli handset didepan, dan kemudian menjualnya dengan harga yang lebih murah (subsidi) dengan asumsi bahwa biaya subsidi dapat dikembalikan melalui pemakaian layanan--mirip dengan pendekatan bundling postpaid. Dengan kenyataan bahwa operator tidak dapat mengimpor handset, maka operator menunjuk distributor yang dipercaya atau distributor yang memang sister company untuk mengimpor handset tersebut on behalf of operator. Inilah yang dilakukan oleh Esia. Oleh sebab itu handsetpun dapat dibranding penuh oleh Esia dan di-lock hanya dapat digunakan pada network Esia. Hasilnya memang luar biasa. Dengan harga yang extra murah, handset menjadi sangat laku. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Mungkin anda masih ingat tragedi handset Samsung hasil bundling Fren yang di-unlock oleh beberapa oknum penjual HP yang berujung ke meja hijau. Tinggal tunggu waktu, handset Esia bisa bernasib sama bila tarif Esia tidak dijaga untuk terus menjadi yang termurah. Handset tetap Esia, tapi langganan ke operator lain. Itulah fenomena yang sekarang terjadi di Indonesia.

Bagaimana dengan trend di negara maju saat ini? Berdasarkan study yang dilakukan KPMG yang dipublikasikan pada situs cellular-news, operator negara maju mulai melakukan layanan yang lebih advance, yaitu bundling layanan multimedia triple-play. Apakah triple-play itu? Triple-play adalah gabungan antara video, suara dan data dalam satu kanal atau layanan multimedia. Hal ini sebagai langkah operator untuk menarik pelanggan baru ditengah kejenuhan pasar. Metode bundling ini dengan digabung dengan fitur unified billing, bertujuan akhir untuk mempermudah pelanggan sehingga menarik mereka untuk berpindah operator. Tetapi karena ujung-ujungnya harga bundling lah yang menjadi highlight dari program operator, alhasil akan bernasib sama: pelanggan berpindah operator hanya untuk menikmati harga yang murah dalam waktu singkat. Retensi bisa dikatakan tidak akan berhasil optimal. Hasil survey KPMG tersebut yang dilakukan dengan mengambil sample 4,400 pengguna di 16 negara (Asia, Amerika, Eropa) menunjukkan bahwa 57% pengguna mengganggap tarif atau harga sebagai pendorong utama untuk berpindah operator. Ternyata, tidak hanya orang Indonesia saja yah yang price sensitive :) Dari hasil ini dapat disimpulkan pula bahwa secanggih-canggihnya sebuah operator dalam mendeploy layanan triple-playnya, tidak akan berakibat banyak atas penambahan jumlah pelanggan. Pelanggan dapat berpindah operator dengan mudah bila ada tarif lebih murah. Mungkin ini bisa berlaku jamak bila number portability sudah digunakan di semua negara termasuk Indonesia. Tetapi bukan berarti pula hal tersebut tidak bisa terjadi saat ini juga. Dan fenomena handset Samsung Fren adalah contoh real.


Sekarang, bagaimana menurut anda? Apakah tarif tetap akan menjadi driver utama dalam memilih sesuatu? Ataukah masih ada driver lain yang lebih penting seperti: coverage/distribusi/availability atau fitur yang canggih? Apakah bundling masih menjadi metode yang efektif dalam mengakuisisi dan meretensi pelanggan, ataukah akhirnya hanya membebani expenditure operator dalam mensubsidi layanan?

Tentunya semua harus teruji di tahun-tahun ke depan. Argumen anda?


Have a nice weekend!


-dyn

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Bundling handset merupakan cara terbaik karena mindset masyarakat yang masih berkutat di GSM. Walau CDMA telah dikenal luas tapi mindset "GSM lebih canggih" masih tertanam.
Apalagi kenyataannya handset CDMA susah didapati. Tapi saya optimis, seiring dengan banyaknya handset cdma. Operator tidak lagi berfokus menjual handset tapi hanya menjual pulsa seperti yang GSM lakukan.