Jumat, 12 Oktober 2007

Business Brief: Grey Campaign vs. Black Campaign

Jika anda pernah ke Amerika atau suka membuka-buka situs www.ifilm.com, pasti anda sering tersenyum-senyum sendiri atau malah tertawa terpingkal-pingkal melihat betapa seru dan lucunya perusahaan yang bersaing disana membuat iklan yang secara langsung menjatuhkan produk pesaingnya. Sebut saja Coca Cola vs. Pepsi, atau Microsoft vs. Apple Mac. Secara terang-terangan mereka membuat materi iklan yang menyebut nama pesaing utamanya, membandingkan kemampuan antara keduanya, dan pada akhirnya menjelekkan produk pesaing. Terkadang bahkan, mereka membuat lelucon-lelucon yang ditujukan untuk mencela produk pesaing. Fungsi lelucon itu tentunya, agar kelemahan-kelemahan produk pesaing dapat dengan mudah dicerna dan diingat oleh pemirsa iklan. Pendekatan melalui aksi-aksi itulah yang disebut dengan Black Campaign, karena menitik beratkan pada sisi gelap/buruk produk pesaing utama, dan mengasosiasikannya dengan brand pesaing tersebut agar mudah diingat. Tentu, fenomena seperti ini sempat sangat asing di mata orang Indonesia. Kita, yang mencoba mencanangkan norma kesopanan adat timur dalam setiap sendi kehidupan, sudah terbiasa dengan iklan sopan--iklan yang hanya menyebutkan keunggulan produk yang dijual tanpa menyinggung produk kompetitor. Semangat ini, saya pikir, adalah semangat yang terpuji. Norma tersebut tentunya applicable diseluruh ranah dunia kompetisi masa lalu, termasuk dunia politik seperti pada masa kampanye pemilu ORBA--tenang, damai.

Tapi sepertinya Indonesia sudah berubah. Manusia-manusianya mulai bertransformasi, mensinkronkan dirinya secara otomatis dengan iklim persaingan global yang 'bebas'. Hal ini, tentu saja, terjadi karena mulai terusiknya kestabilan akibat persaingan yang begitu ketat, potensi market yang semakin kecil, dan floating mass yang semakin kritis terhadap mutu dan pelayanan. Layaknya harimau lapar, pada saat keadaan menuntut kadar survival lebih tinggi daripada sekedar aktualisasi diri, maka siapapun yang menghadang harus siap cakar-cakaran... Kalau perlu, 'bunuh-bunuhan'. Itulah wajah kapitalisme. Dan Black Campaign adalah fenomena yang mungkin akan mulai merasuki kancah persaingan bisnis dan politik negeri ini. Lihat saja bagaimana para pendukung calon presiden atau anggota partai mulai mengambil simpati calon konstituen mereka--terutama yang berstatus floating mass--dengan cara membeberkan kesalahan atau keburukan rival terdekat, baik benar atau dibuat-buat, ke media pers yang semakin kuat peranannya dan mudah disuap (no offense, teman2 pers). Mengerikan memang... Dan seakan tanpa hati nurani sama sekali, terlihat kampungan. Sayang, sebagian besar pelaku politik kita tidak bisa bermain politik dengan smooth, mereka masih melakukannya dengan terlalu kasar. Ya, itulah fenomena yang sudah memasuki kancah persaingan politik negeri kita.

Bagaimana dengan pelaku bisnis? Mungkin tidak jauh berbeda. Saat ini, mereka mulai memperlihatkan gejala serupa. Lihat saja beberapa iklan minuman penyegar yang memperlihatkan botol pesaingnya sebagai komparasi; walau image-nya sedikit di-blur untuk mengesankan tidak adanya intensi untuk menjelek-jelekkan produk pesaing, pemirsa iklan bisa dengan mudah menebak brand yang diserang--baik dari bentuk botol maupun warna yang dominan. Begitu pula dengan produk lain seperti sabun cuci baju, insektisida, dan lain sebagainya. Yang menarik adalah mereka tetap tidak mau terlihat terang-terangan menyerang. Brand pesaing tidak pernah disebut atau diperlihatkan dengan jelas. Mungkin mereka tidak mau dicap sebagai perusahaan yang suka menjelek-jelekkan produk perusahaan lain, atau memang pemirsa kita belum siap untuk itu sehingga jika diterapkan hal itu bisa saja jadi senjata makan tuan--mereka bis dituduh sebagai pemfitnah. Seingat saya, secara kode etik periklanan kita juga model Black Campaign tidak diperbolehkan (mohon bantuan temen2 praktisi atau regulator periklanan untuk yang satu ini). Oleh sebab itu, kita tidak perlu takut. Indonesia tetap Indonesia. Manusia Indonesia masih punya nurani ketimuran yang secara tidak sadar menyetop kegiatan-kegiatan diluar norma yang tercatat di memory bank otak tak sadar kita sejak kita kecil. Maka, bentuk persaingan yang masih ada masih relatif terkontrol dan pelaku bisnis masih melakukannya dengan cukup elegan.

Yang menarik sebetulnya adalah, impact dari fenomena diatas. Dengan kenyataan adanya kebutuhan Black Campaign dari para pengiklan dan, secara kontradiktif, adanya kebutuhan untuk tetap dianggap sebagai perusahaan putih oleh pemirsa iklan--perusahaan yang dianggap baik dan tidak suka memfitnah pesaing--maka terjadilah bentuk campaign baru, yang saya sebut sebagai Grey Campaign. Grey Campaign dalam konsep saya sebenarnya adalah Black Campaign yang tanggung, yang terbataskan oleh norma sosial. Tak seperti di Amerika sebagaimana saya jelaskan diawal artikel, tapi lebih seperti contoh iklan larutan penyegar tadi. Apa impact dari model tersebut? Karena tidak dapat memperlihat kan image/brand produk kompetitor, pengiklan harus berusaha mencari kelemahan pesaing dari segi yang lain... Hal-hal buruk yang biasanya disembunyikan oleh pesaing dari pelanggannya. Tendensinya adalah lebih melakukan cross education kepada publik, walaupun dengan lebih menekankan pada kelemahan pesaing. Pengiklan tentunya selalu mengiklankan produknya dengan melebih-lebihkan manfaat produk dan menutupi kekurangannya. Grey campaign bisa secara tidak langsung mengajarkan kepada publik mengenai potensi kelemahan atau kelemahan produk pesaing, sehingga calon pelanggan diajak untuk berpikir kembali sebelum membeli. Langkah ini sangat baik untuk membuat publik lebih hati-hati dalam memilih produk. Dan para pelaku bisnis otomatis akan berusaha memperbaiki mutu dan pelayanan atas produk-produknya dan juga memperbaiki cara penyampaian informasi produk mereka ke pelanggan dengan berusaha untuk lebih jujur, agar tidak lagi diserang oleh para kompetitornya.
Contoh paling menarik adalah duel produk GSM antara Mentari Indosat dan Bebas XL baru-baru ini. Dengan persaingan usaha dan target revenue yang semakin tinggi, operator terbesar ke-2 dan ke-3 di Indonesia ini bertempur habis-habisan di wilayah brand cash cow mereka. Keduanya mulai melakukan praktik Grey Campaign yang cukup heboh dan berskala nasional (lihat gambar). Sebenarnya praktik ini tidak bisa dibilang baru di dunia selular. Dimulai dengan iklan Esia yang menjelek-jelekkan produk operator lain sejak masuknya Eric Meijer dijajaran direksi, operator lain lambat laun ikut ambil bagian dalam metode ini. Dengan 10 operator memegang lisensi GSM dan CDMA, bisa dibayangkan begitu chaos-nya bagi-bagi market share di dunia telekomunikasi. Mereka berlomba-lomba menawarkan produk yang memiliki benefit yang paling pas untuk market, dan kadang membungkus syarat-syarat sehingga tak terlihat olen calon konsumen. Iklan terus bergerak ke arah hardselling. Persaingan lebih terasa lagi di wilayah-wilayah regional sales. Mereka berjuang untuk mencapai target sales mereka, sehingga melakukan gerilya untuk menjatuhkan lawan melalui Black Campaign--bukan lagi grey campaign. Bingungkah masyarakat? Termakankah mereka dengan iklan-iklan itu?

Masyarakat mungkin letih dan bingung melihatnya; tapi bagaimanapun, mereka senang mendapatkan penjelasan dua belah pihak yang berseberangan mengenai produk yang ingin mereka pakai. Mereka otomatis akan menaikkan alarm di kepala mereka agar lebih hati-hati lagi dalam memilih produk. Disinilah jelas kelebihan Grey Campaign. Bagaimana dengan Black Campaign? Black Campaign mungkin tidak cukup mendidik. Bahkan tendensinya merusak reputasi orang lain. Black Campaign tidak memaksa pelanggan untuk berpikir kembali dalam memilih produk. Mereka mem-push publik untuk setuju dengan argumen mereka mentah-mentah. Dan tentunya, masyarakat tidak akan respect dengan perusahaan yang melakukan Black Campaign, karena tindakan menjelek-jelekan brand tertentu secara jelas dan menyebut nama brand pesaing sangatlah tidak etis. Itu seperti menghalang-halangi rejeki orang lain. Ingat, kita masih punya norma budaya ketimuran. Setiap perusahaan tetap harus menghargai produk perusahaan lain, karena mereka bersama2 membangun negeri ini untuk menjadi lebih baik. Semangatnya haruslah membangun dan mendidik, bahwa grey campaign lebih untuk mengoreksi pengertian publik, bukan sekedar menyerangnya. Semangat itulah yang harus dipupuk. Tidak ada produk yang sempurna.

At last, kita harus mewarisi budaya yang baik ke generasi-generasi selanjutnya. Mereka harus peduli atas hak-hak konsumen dan respek terhadap lawan kompetisi mereka. Mereka harus belajar sportif. Jika saya boleh memilih, saya akan ambil Grey Campaign, dan membuang jauh-jauh Black Campaign. Tentunya ini bukan paksaan. Toh, kita dapat belajar bagaimana disetiap pertandingan akan diakhiri dengan bersalam-salaman... Yang tujuannya menciptakan kedamaian.
Bagaimana dengan anda?

Selamat hari Idul Fitri 1428H. Mohon maaf lahir dan bathin.
-dyn

Keterangan foto: iklan Bebas XL dan Mentari Indosat yang mulai saling menikam.
Dony Yuliardi @ BlackBerry Curve via XL

5 komentar:

K-SAN mengatakan...

Untungnya NTS belum launching, padahal dia juga menggunakan tarif Rp. 1/detik lho, malah mulai detik pertama lagi :p
Coba cek deh http://www.nts.co.id

Maaf komentar ini bukan grey maupun black campaign. Sekali lagi maaf. hehehe :p

Anonim mengatakan...

hehehe... maklum mas dony pernah kerja dioperator itu yg lagi 1 sih.. ^_^.
anyway.. aku setuju pendapatmu mas!
- rahayu putri - dps

Anonim mengatakan...

Black campaign dilakukan karena Kpi dan uub(ujung2nya bonus)

Anonim mengatakan...

Kapan Indonesia memulai campaign yang sangat mendidik? kedua contoh iklan ybs adalah salah satu bentuk pembodohan bangsa. Pada akhirnya, image-lah yang akan menentukan pasar.

Dony Yuliardi mengatakan...

Kalo kata Ogilvy: "Iklan yang sukses adalah iklan yang menjual"... so, emang susah sih kalau kita demand iklan yang benar-benar mendidik pada saat tujuannya hardselling. Kalau bentuknya lebih ke softselling atau PR atau CSR, maka tujuan mendidik itu dapat lebih terlihat. misalnya aja:
- workshop telekomunikasi
- pembahasan e-lifestyle di TV
dan lain-lain. Paling tidak billboard2 ini mendidik kita untuk lebih hati2 memilih produk dan "hitung kembali" semua tawaran vendor. Well, it's a cruel capitalistic world. welcome and enjoy it hahahaha