Selasa, 16 Oktober 2007

Technology Brief: PTT part 1--PTT yang 'Hidup segan, Mati tak mau'

Saya yakin jika anda laki-laki, pernah di masa anda kecil berangan-angan menjadi prajurit atau polisi. Dengan lagak bagai seorang kapten, anda akan memegang mainan menyerupai Handy-Talky (HT) plus senjata api dan mulai menyusun strategi tempur bersama teman-teman. Dor! Dor! Senangnya masa itu... :)
HT mempunyai kelebihan tersendiri yang belum tergantikan oleh teknologi selular yang saat ini ada di Indonesia: murah, komunikasi instan dan layanan point-to-multipoint. Itulah yang membuat HT begitu spesial, yang membuat teknologinya masih terpakai terus sampai sekarang. PSS (Public Safety & Security)--temasuk polisi dan militer seperti ilustrasi diatas--adalah salah satu wilayah profesi yang sangat intens menggunakan teknologi ini, terutama untuk kebutuhan koordinasi dalam satu grup task force oleh sang komandan. Bahkan, untuk menambah jangkauan dan privacy pembicaraan, HT telah berkembang menjadi radio trunking dengan pendekatan teknologi semi-selular. Kemudian muncul satu pertanyaan baru: apakah dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat yang tujuannya mempermudah pengguna, setiap anggota PSS harus membawa 2 buah gadget, telfon selular dan HT? Jawabannya, tidak harus... Walau bukan berarti tidak 100%. So, why is that?

Bayangkan kemampuan HT ataupun radio trunking itu dapat diadopsi di telfon genggam yang sehari-hari kita bawa. Tentunya, segalanya menjadi lebih praktis. Konsep itulah yang membuat Nextel--sebuah operator selular di USA, sekarang SPRINT--pertama kali memperkenalkan teknologi Push-to-talk (PTT) over cellular, atau sering disebut sebagai POC, pada awal tahun 90-an. Sesuai dengan teknologi selular yang dipakai saat itu, iDEN, maka PoC pun masih dijalankan menggunakan jalur circuit switch (CS), yaitu jalur yang sama persis dengan komunikasi normal. Hanya saja, sesuai dengan nature of service-nya, PTT adalah tetap merupakan komunikasi half duplex dimana hanya salah satu pengguna yang dapat menggunakan jalur yang ada untuk berbicara ke pengguna yang lain. Penggunaan PoC atau PTT ini pun meningkat oleh pelanggan Nextel, mulai dari kegiatan amatir sampai profesional, terutama karena model pentarifannya yang semakin menarik. Pelanggan Nextel/SPRINT dapat menggunakan layanan ini hanya dengan membayar biaya bulanan saja. Kekurangan teknologi yang dipakai Nextel adalah masih digunakannya jalur circuit switch dan teknologi yang tidak standar--menggunakan iDEN yang proprietary Motorola. Penggunaan circuit switch (CS) dipandang terlalu kuno karena CS membatasi added value yang dapat dibangun dalam fitur layanan ini. Dengan CS, manfaat dari PoC hanya terbatas pada fitur standar HT.

Sejak awal abad 21, dengan mulai diperkenalkannya teknologi GPRS (General Packet Radio Service) pada GSM (atau IS-136) yang merupakan sistem selular terpopuler dan layanan data pada CDMA 1x, munculah konsep PoC yang baru, yang menggunakan jalur Packet Switch (PS) dan bukan lagi CS. PS adalah jalur data yang metode utilisasi kanalnya menggunakan metode Internet Protocol (IP), sehingga membuat utilisasi kanal lebih efisien. Pada GSM, akses GPRS bisa mengokupasi mulai 1 sampai 4 kanal frekuensi radio--yang umum diperbolehkan--dari total 8 kanal, sehingga menyisakan 7 sampai 4 kanal lain untuk keperluan suara. 1 kanal frekuensi saja dapat digunakan oleh lebih dari satu pengguna, dengan pembagian berdasarkan waktu (time division) dan model antrian First come, First serve. Contoh saja, dalam 1 kanal frekuensi akan digunakan oleh pengguna A, B dan C untuk mengakses GPRS. Maka, paket data (burst) pengguna akan mengantri berdasarkan waktu yang paling dulu sampai, misalnya: t1 untuk si A, t2 untuk si B, t3 untuk si A lagi, t4 untuk si C, dst. Disisi core network, data tadi akan dipisah sesampainya di BSC oleh modul PCU (Packet Control Unit) untuk diteruskan ke core GPRS network, yaitu SGSN dan GGSN, menggunakan IP protocol. Dengan koneksi menggunakan IP, begitu luas kemungkinan dan kesempatan mengawinkan begitu banyak aplikasi core berbasis IP dengan aplikasi handset.

PoC sebagai salah satu aplikasi pun mulai dirancang untuk menggunakan jalur IP ini via GPRS core network. Dengan menggunakan teknologi jalur data, aplikasi PoC dapat berkembang begitu luas. Bayangkan aplikasi PoC tersebut dalam bentuk buddy list layaknya aplikasi messenger. Jika ingin menghubungi seseorang secara instan, kita tinggal menekan salah satu anggota buddy list yang ingin dituju dan langsung berbicara. Banyak informasi dan aplikasi tambahan yang bisa diasosiasikan dengan buddy list tersebut selain push-to-talk: instant messaging, presence information (location, status, dll), group call (predefined, ad-hoc, instant), black/white list, push-to-transfer file, push-to-email, push-to-emergency access, push-to-video call dan push-to-action yang lainnya. Semuanya bisa dilakukan dengan pengembangan software aplikasi baik di sisi network maupun handset. Berdasarkan arsitektur, tentunya PoC platform berada di belakang GPRS network. Dari situlah, platform tersebut akan mengagregasi informasi yang didapat untuk kemudian diproses menjadi informasi yang berguna bagi lawan bicara.

Ditilik dari aplikasi-aplikasi yang mungkin diterapkan pada layanan PoC, banyak segmen yang potensial untuk masuk dalam target market PoC. Selain PSS, ada beberapa area profesional lain yang membutuhkan koordinasi grup yang instan. Contoh saja, pekerja lapangan penambangan minyak yang harus melakukan koordinasi instan di wilayah yang sangat berjauhan, dimana HT atau trunking tidak bisa menjangkau lagi. Bahkan, dengan spesifikasi baru dibawah OMA (Open Mobile Alliance), PTT dapat berjalan melalui jaringan Wifi/WLAN juga. Ini membuka kemungkinan makin besar untuk deployment PTT/PoC pada perangkat dual mode GSM/WLAN dengan melakukan ekstensi jaringan menggunakan WLAN yang berbiaya lebih murah... Atau mungkin bahkan WIMAX. WLAN adalah salah satu solusi mobile corporate yang sedang populer saat ini, digabungkan dengan layanan CUG (Corporate User Group) menggunakan IP PBX (semacam PABX menggunakan IP network).
Selain solusi bisnis ataupun profesional lainnya, PoC juga mempunyai potensi yang baik diwilayah retail. Kalangan muda adalah segmen yang paling potensial. Dengan model pentarifan yang masuk akal, mereka akan otomatis tertarik menggunakan PoC untuk berkomunikasi dalam sesama peer group mereka. Diskusi akan tambah menarik dengan kemampuan komunikasi instan dan group call (one-to-multipoint) di dalam satu peer group; apalagi jika buddy list bisa dengan mudah menunjukkan status dan posisi kawan. It's like reviving the old ORARI's days! :) tapi dengan solusi yang lebih canggih tentunya.
Melihat begitu banyak kegunaan yang dapat diberikan oleh PoC ini, mengapa layanan ini belum 'fly' juga sampai saat ini?

Ada dua problem utama dalam mengimplementasikan PoC yaitu standar teknologi PTT dan arsitektur core network yang dipakai untuk mendukungnya.

Standar PoC/PTT
Platform layanan PoC yang saat ini ada di market masih sangat vendor dependent atau proprietary. Beberapa vendor network--dipelopori oleh Motorola--membuat versi sendiri-sendiri untuk PoC ini, sehingga solusi yang ada belum dapat mengakomodasi perbedaan handset dan compatibility antara sistem PTT yang berbeda. Tetapi belakangan, dibawah bendera OMA dan 3GPP/3GPP2--dipelopori oleh Wireless Village di awal tahun 2000-an, beberapa vendor mulai bergabung dan sepakat membuat standar common platform. Problemnya, sampai saat ini pun sang standar urung rampung. Hal ini menyebabkan delay berkepanjangan terhadap deployment sistem PoC, walaupun sudah begitu banyak studi kelayakan yang menunjukan potensi positif. 2 vendor yang sangat aktif dalam melakukan deployment intermediary solution untuk PoC adalah Nokia (NSN) dan Motorola. Dominasi dan inisiatif kedua vendor network ini didorong oleh kebutuhan market maupun history mereka dalam bisnis PTT: Nokia, yang juga merupakan vendor handset dengan market share terbesar di dunia, sudah sejak awal tahun 2000an membekali handset GPRS mereka dengan software PoC; sangat disayangkan bila potensi ini tidak segera di-monetize dengan dukungan perangkat back-end network. Sedangkan Motorola, sebagai pelopor PTT, terus berusaha menempatkan dirinya sebagai leader di layanan ini. Oleh sebab itu, Motorola terus aktif mengembangkan sistem PTT-nya dan melakukan uji coba dengan beberapa operator telekomunikasi.
Saat ini sudah ada beberapa operator GSM yang men-deploy PoC baik dengan NSN atau Motorola atau solusi lain, tetapi belum dapat melakukan interkoneksi antar dua sistem yang berbeda. Dengan kata lain, roaming dan interkoneksi belum disupport oleh layanan ini. Tentu, hal ini mengurangi take-up rate layanan oleh market. Apalagi, pelanggan harus terlebih dahulu men-download software ke handheld mereka agar dapat bekerja secara compatible dengan sistem PoC yang di-deploy. Suatu hari nanti, jika standar solusi PoC sudah benar-benar seragam, kemungkinan besar acceptibility market terhadap layanan ini akan jauh lebih baik. Detail mengenai perkembangan standar solusi dan cara kerja PoC akan saya bahas pada PART 2.

Core Network
Problem kedua adalah arsitektur core network yang menunjang layanan ini. Layanan PoC sebenarnya lebih ideal bila beroperasi pada network yang sudah IMS-based. IMS (IP Multimedia Subsystem) adalah NGN (Next Generation Network) atau network generasi ke-4, yang menggunakan 'all IP' dalam jaringan networknya. Seperti kita ketahui, saat ini mayoritas operator masih menggunakan network generasi ke-3, seperti UMTS, dimana voice call ataupun video call masih menggunakan jalur TDM (time-division multiplexing) dengan voice trunking dan SS7 signalling yang membutuhkan dedicated bandwidth untuk setiap call. Pada IMS, seluruh komunikasi akan dibuat sangat efisien menggunakan protokol IP dalam bentuk data, sehingga tidak diperlukan dedicated bandwidth untuk setiap call. Otomatis, karena sudah menggunakan all IP, hampir tidak ada perbedaan antara network voice dengan GPRS--semua tergabung dalam IP core network. Disinilah kelebihan IMS, sehingga aplikasi-aplikasi tambahan pada buddy list dapat berfungsi dengan maksimal. Apalagi bila akses data sudah mencapai bitrate yang sangat tinggi, diskala Mbps ke atas. Karena IMS masih sangat mahal untuk diimplementasikan, belum lagi handset yang belum compatible, maka mau tak mau operator harus melirik solusi yang paling reasonable yang dapat ditunjang oleh existing network mereka.
Solusi PoC non-IMS adalah menggunakan metode server-based. Signal data suara akan berjalan pada jaringan data GPRS untuk kemudian dikirim ke server PoC yang terhubung ke jaringan GPRS. Inilah yang kemudian melakukan kontrol terhadap komunikasi PTT. Tentunya, solusi ini belum bisa dibilang ideal, tapi paling tidak sudah dapat mengakomodasi mayoritas fungsi PoC.
Detail mengenai perbedaan sistem akan saya jelaskan pada PART 2.

Jelaslah sekarang bahwa PTT atau PoC sangatlah potensial. Oleh sebab itu, handset Nokia pun sampai saat ini masih menempatkan menu PTT di firmware-nya. Sayangnya, ketidakseragaman standar sistem PTT menyebabkan solusi ini belum diadopsi oleh operator. Belum lagi pembuatan standar ini memakan waktu yang begitu lama, sehingga sampai saat ini standar belum juga rampung. Kapankah operator di Indonesia akan mengadopsi layanan ini? Tentunya mereka juga sedang dalam posisi wait-and-see. Mereka tidak akan mau gegabah melakukan investasi untuk sesuatu yang belum standar dan final. Sekarang, kita hanya bisa menunggu solusi ini rampung. Sampai saat itu terjadi, kita cuma bisa gigit jari membayangkan bermain PTT dengan rekan-rekan sekantor, atau teman bermain.
PTT... Malangnya nasibmu. Bagai hidup segan, mati tak mau...

-dyn



Dony Yuliardi @ BlackBerry Curve via XL

3 komentar:

Lukman Chakim mengatakan...

kalau memang jadi semuanya nanti bermuara di IP, keknya ada kemungkinan penurunan kualitas deh bos, kalo pas liat menu PTT di handset nokia jadi inget sama serial CSI, benar2 sangat efisien sebetulnya, tx bos atas artikelnya, nice one.

Rizki mengatakan...

Ada kemungkinan operator enggan beralih ke packet switching, bukan hanya masalah standar yang masih belum fix dan masalah infrastruktur yang mahal, tetapi juga scenario billing kayaknya lebih menguntungkan menggunakan circuit switching dan masalah security juga masih menjadi issue di platform ini. Dimana billing pada circuit switching dapat dilakukan pada waktu kita melakukan koneksi ke pihak lain, sedangkan packet switching lebih mengarah pada subscription (seperti langganan internet), apalagi jika layanan ptt ini dilakukan tanpa terlebih dahulu melakukan koneksi ke server operator. Tentu saja user akan sangat diuntungkan, dan di lain pihak, network operator terbebani :D. Ya tapi mudah2an para operator cukup rela mengorbankan sedikit keuntungannya untuk menuju teknologi IP ini.

Dan walaupun core network masih menggunakan teknologi circuit switch, tetapi setau gue, untuk beberapa protokol seperti layanan 3g video call, yang menggunakan protokol h324m, backend servernya menggunakan teknologi IP untuk melakukan video processing, inter koneksi dlsbnya, dalam hal ini menggunakan protokol sip dan h323.

Dony Yuliardi mengatakan...

correct... PTT ini juga menggunakan SIP dan h323 kok. masalah kualitas memang ngga bisa disamakan dengan CS yang dedicated... paling tidak untuk saat ini. Kedepan, mungkin hasilnya ngga terlalu jauh ya. Tapi paling tidak dengan menggunakan half-duplex traffic, komunikasi bisa lebih lancar. network tidak terlalu congest. apalagi, sekarang VoIP bisa dikompres sampai 5kbps.
Untuk billing, that's the real challenge. you are correct, Rizki. Tapi kalau dilihat trend sekarang seperti mulainya T-Mobile dan TeliaSonera men-deploy layanan UMA, sepertinya kedepan layanan serupa yang menggunakan IP tidak akan menjadi masalah. alternatifnya:
- charge per push
- monthly
- charge per kb
- charge per service used
- charge per time

semuanya perlu billing change request. bisa saja dilakukan charging di sisi Gn/Gi. Tapi pasti mahal aja kali yeeee hehehe