Kamis, 11 Oktober 2007

Business Brief: Go worldwide? NOW is the time

Dulu di jaman sebelum krisis moneter 1997-98, saya begitu kagum dengan konglomerasi Indonesia. Didukung dana sangat besar dan kekuasaan ORBA yang tak tergoyahkan, seakan mereka menggeliat dengan nikmatnya merambah hampir semua lini bisnis--vertikal maupun horisontal. Sebut saja Grup Salim, Grup Subentra, Grup Humpuss, Grup Bimantara dan lainnya, tentunya sangat tidak asing ditelinga kita saat itu. Dulu, dengan kekaguman, saya sering membayangkan dan menunggu-nunggu mereka dengan kekuatan yang mereka miliki saat itu bisa merambah wilayah bisnis yang lebih luas mencapai pucuk-pucuk mancanegara. Pastinya, saya sebagai bagian bangsa ini akan ikut bangga dengan prestasi mereka. Tapi siapa nyana, saat itu tak kunjung tiba, bahkan harus pupus ditelan krisis yang melanda negeri ini bersama dengan tenggelamnya kekuasaan orde baru. Jelas, mereka bukannya jatuh miskin--saya yakin mantan-mantan pemilik konglomerasi ini masih memilik pundi-pundi kekayaan yang mereka simpan dalam sekian dekade--mereka masih hidup layak walau sebagian memang sempat masuk penjara untuk waktu yang singkat, dan sebagian lagi hilang begitu saja bak ditelan bumi tak terlihat batang hidungnya lagi. Semua itu memang resiko bisnis yang sangat bergantung pada rezim yang berkuasa saat itu. Tapi apakah hanya itu penyebabnya? Sangat menarik bahwa kenyataannya ada bisnis-bisnis besar lain yang tidak terlalu goyah diterpa angin krisis. Mereka berhasil survive dengan kekuatan bisnis mereka. What is the culprit?
Mereka yang sukses untuk survive adalah perusahaan yang taktis dalam melakukan change management, selain juga mungkin tingkat dependensi yang relatif lebih rendah terhadap kekuasaan itu. Restrukturisasi hutang maupun organisasi, pengetatan budget dan perampingan bisnis adalah beberapa contoh action yang mereka lakukan. Saat ini, untungnya, masih dapat kita lihat contoh perusahaan tersebut: Bakrie, Ciputra, Sampoerna, Summarecon dan lainnya. Intinya, mereka mau berubah. Krisis memang mengajarkan manusia banyak hal, membentuk pribadi-pribadi baru yang lebih baik untuk menahan goncangan. Tahun-tahun berikutnya, mulailah tumbuh konglomerasi baru yang dulunya tak pernah terdengar, mereka-mereka yang menggeliat dengan profesional untuk menembus badai. Mungkin mereka bendera baru dengan dana lama, mungkin mereka memang baru seutuhnya. Yang jelas, dengan persaingan yang semakin bebas, konglomerasi baru ini dituntut untuk bisa membuat perusahaan yang bonafide yang dijalankan dengan prinsip-prinsip modern yang lebih profesional. Memang tidak bisa kita lepas begitu saja bisnis dari kekuasaan, dan tidak semua learning untuk membuat organisasi yang modern. Tinggal tunggu waktu saja, mereka yang terlalu bergantung dengan kekuasaan baru yang saat ini shifting dengan cepat--bayangkan saja, 4 presiden dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun--someday akan ditelan oleh waktu. Mereka harus belajar kembali, masuk 'kampus krisis'.

Saya baru saja menemukan sebuah statement menarik di majalah Newsweek edisi 8 Oktober 2007 ini, yang menyatakan bahwa 61 perusahaan yang terdaftar di Fortune500 ternyata berasal dari negara berkembang--sebuah perkembangan pesat dari hanya 28 perusahaan 10 tahun yang lalu. Perusahaan-perusahaan kelas dunia yang berasal dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa mulai kalang kabut kehilangan market share mereka. Pesaing mereka dari negara berkembang telah berhasil melakukan shift of power sedikit demi sedikit sehingga nilai capital power mulai berpindah tangan di beberapa lini industri. Dulu, orang tidak kenal Samsung, tidak kenal Hyundai, tidak kenal Lenovo juga tidak kenal Cemex. Saat ini, brand-brand itu sudah merajalela di berbagai belahan dunia. Samsung sudah berubah menjadi brand yang sangat reliable dalam bidang elektronika. Bahkan, penjualan flat TV-nya pun sudah melampaui Sony yang sebelumnya merupakan leading brand. Penjualan handsetnya juga sudah mulai melampaui Motorola dan dipenuhi begitu banyak inovasi. Samsung memang sebuah fenomena. Lenovo juga tidak jauh berbeda. Dunia dikejutkan dengan dibelinya divisi personal computing IBM oleh Lenovo. Sebuah perusahaan yang begitu besar dan dikenal dengan super komputernya, dibeli oleh sebuah perusahaan Cina yang namanya masih sangat asing ditelinga. Cemex pun tidak kalah seru ceritanya. Bermula dari sebuah toko semen di Mexico, Cemex berhasil mengembangkan sayapnya hingga menjadi produsen semen ketiga terbesar di seluruh dunia sejak tahun 1990-an. Yang menarik, Cemex menjadi besar bukan hanya karena harga yang kompetitif--seperti tipikal perusahaan negara berkembang yang lain--tapi mereka melakukan inovasi demi efisiensi dan efektifitas produksi dan distribusi produk sehingga memenuhi kebutuhan klien yang selama ini belum terjawab. Dengan beraninya, Cemex menggunakan teknologi informasi seperti GPS untuk mengontrol dan mengefisiensikan distribusi semen mereka. Samsung pun tak kalah inovatifnya. Bisa dibilang saat ini Samsung sudah mulai menjadi leader consumer electronic dengan begitu banyak inovasi baru dan cakupan industri yang vertikal, dari pembuatan komponen chip sampai barang elektronik siap pakai. Hyundai juga tak kalah serunya. Sebagai perusahaan otomotif Korea yang seringkali dituduh sebagai pengkopi, Hyundai membuat pusat riset dan desain di Amerika sehingga menciptakan produk-produk inovatif yang sesuai dengan taste negara market otomotif terbesar di dunia itu. Hasilnya? Penjualan yang eksponensial. Banyak lagi contoh-contoh lain yang serupa. Yang jelas, perusahaan-perusahaan multinasional dari negara berkembang telah berhasil mencapai pertumbuhan aset dan kapital di pasar modal dari $80 milyar menjadi $6.4 triliun dalam 25 tahun, dengan pertumbuhan 10 kali perusahaan Amerika dan 34 kali perusahaan Jepang. Luar biasa.
Temuan yang lebih menarik lagi adalah bahwa dari 25 perusahaan multinasional asal negara berkembang yang sekarang merajai pasar dunia itu, menurut survey Von Agtmael, 10 berasal dari Amerika Selatan dan hanya 1 yang berasal dari Asia Tenggara. Apakah yang menjadi penyebabnya? Bukankah dulu ditengarai bahwa negara-negara di Asia Tenggara akan menjadi macan-macan Asia yang mendunia? Ternyata, macan kita masih ompong.
Perusahaan-perusahaan Amerika Selatan yang mayoritas telah menganut sistem kapitalisme sejak berpuluh-puluh tahun, mampu menempa diri mereka untuk belajar bersaing dan survive dalam persaingan di negara mereka masing-masing. Pada akhirnya, mereka telah siap dan berpengalaman untuk berani bertarung di kelas dunia. Sementara, perusahaan di Asia Tenggara terlalu terbiasa dimanja oleh kekuasaan dan seringkali belum PeDe untuk bisa go worldwide.
Kenyataannya adalah bahwa baik perusahaan Amerika Selatan, Korea ataupun Asia Tenggara, semuanya melalui krisis ekonomi yang melanda hampir berbarengan pada era 90-an. Semuanya mengalami perubahan ekonomi makro yang dahsyat, yang menyebabkan utang mereka membengkak dan memaksa mereka melakukan perubahan yang radikal agar survive.

Menilik semua kesamaan yang ada, tidak ada alasan yang cukup sebenarnya untuk perusahaan-perusahaan besar--juga perusahaan menengah, tentunya-- di Indonesia untuk tidak berpikir 'Go Worldwide'. Dengan resources kita baik alam maupun manusianya, kita punya kemampuan yang tidak banyak berbeda dengan rekan-rekan di negara berkembang lain. Menurut saya 3 hal yang perlu kita persiapkan adalah: kepercayaan diri as a winning team (baca: PeDe), berpikir inovatif dan quality oriented.
Kepercayaan Diri adalah masalah utama bangsa ini. Selama kita menganggap para bule yang menyeberang di jalan Jaksa lebih hebat dari kita, disitu pula kita harus lihat kenyataan bahwa kita masih belum PeDe :-) Potensi diri kita tidak akan tergali maksimal saat psikologi dalam diri kita membatasi ruang gerak kita dengan berkata 'ah, aku belum mampu', 'ah, aku takut' dan pikiran-pikiran negatif berorientasi nervousness lainnya. Come on... Bangsa kita adalah salah satu dari segelintir bangsa di dunia yang mendapatkan kemerdekaan dengan perjuangan diri sendiri. Kita juga salah satu dari segelintir negara yang berhasil menghalau komunis dengan kemampuan sendiri, sampai pemerintah Filipina saat itu meminta institusi intelijen kita melatih mereka menghadapi gerakan revolusi komunis dalam negri mereka. Belum lagi jika kita lihat sekarang, begitu banyak putra Indonesia yang memenangkan berbagai olimpiade keilmuan di tingkat internasional. Bagaimana membedakan winning team atau bukan? Liat saja perbedaan permainan Susi Susanti dengan team PSSI kita diajang internasional. Dengan semangat the winning team, otomatis kita akan push ourselves to the limit. Buanglah jauh-jauh rasa rendah diri; cukup simpan rasa rendah hati. Pada akhirnya, hanya kita sendirilah yang bisa meyakinkan diri kita bahwa 'KITA SIAP'.
Berpikir Inovatif merupakan langkah besar menuju perusahaan yang berpotensial dominan di tingkat International. Ingat prinsip ATM? Analisa, Tiru, Modifikasi. Konsep itu memang harus dipakai pada awal membangun perusahaan. Apalagi untuk kita negara berkembang yang mengandalkan biaya human resources yang rendah. Tetapi, pada tahap selanjutnya, kita harus memiliki inovasi yang brilian, yang benar-benar baru sehingga kita memiliki diferensiasi produk yang mendasar dibanding dengan perusahaan lain yang serupa. Contoh saja perusahaan Haier dari Cina yang sekarang telah mengakuisisi Maytag--salah satu perusahaan White Good terbesar di Amerika. Seluruh karyawan engineering yang bekerja di sana, harus mempunyai ide inovasi baru atas produk yang akan dibuat. Mereka tidak lagi mau dianggap sebagai perusahaan Cina yang selalu mengcopy produk-produk barat. Mereka mulai bertransformasi menjadi pelopor teknologi dan desain. Saya yakin kita mampu untuk itu. Kita harus berpikir sintesis, tidak lagi analisis belaka. Banyak lulusan S3 di Indonesia menganggurkan potensi pikiran mereka karena tidak tersedianya perusahaan R&D yang berorientasi membangun inovasi baru, bukan sekedar meniru.
Yang terakhir, Quality Oriented. Semua inovasi, semua produk, tidak akan berhasil survive di pasar tanpa quality yang baik. Kualitas disini luas sifatnya. Mulai dari saat produk didesain, diproduksi, diperjualbelikan, sampai layanan purna jualnya. Semua proses menuntut kualitas yang sempurna, dan perusahaan harus menanamkan konsep itu dalam keseharian kultur perusahaan. Itulah yang populer disebut dengan TQM, atau Total Quality Management. Perusahaan harus selalu berani mengintrospeksi diri untuk menjadi lebih baik. Jepang adalah contoh yang terbaik untuk ini. Dan saya yakin, manusia Indonesia mampu untuk menuju ke arah ini.

At last, Utopia saya kali ini adalah mimpi saya melihat perusahaan Indonesia satu-persatu menjadi perusahaan multinasional yang berhasil shifting the wealth of the world to South East Asia, seperti fenomena yang terjadi di Asia Utara dan Amerika Selatan. Perusahaan Indonesia telah menunjukkan kemampuan mereka untuk survive melewati badai krisis; dan saya yakin 99% mereka (atau mungkin kita) pasti mampu 'GO WORLDWIDE' jika mau bermimpi lebih tinggi lagi. Just DO it!... NOW is the TIME!

-dyn

Dony Yuliardi @ BlackBerry Curve via XL

2 komentar:

Rizki mengatakan...

Fenomena yang mungkin layak diperhatikan adalah berkembangnya perusahaan-perusahaan IT seperti Google, Amazon, Ebay, etc. Kalau saja fenomena ini bisa terjadi pada perusahaan di wilayah Asia Tenggara.

Alasannya karena perusahaan-perusahaan ini tumbuh berawal dari ide sederhana, yang mungkin saja besarnya modal awal tidak seperti lenovo, samsung, hyundai dan lain sebagainya. Mungkin ini sangat cocok dengan iklim bisnis indonesia yang masih terjerat krisis.

Btw, Mohon Maaf Lahir Batin ya Don, Minal Aidzin wal Faidzin, Taqaballahu minna wa minkum. Dan kalau bisa anonymous comments nya dibuka supaya siapapun bisa comment di blog eloe ;-).

Dony Yuliardi mengatakan...

Rizki, thanks buat komentarnya ya. You are quite right bahwa things harus mulai dari ide sederhana. Dan saya yakin, tidak hanya Google, Amazon atau perusahaan internet lainnya... perusahaan seperti HP, Lenovo, dll juga mulai dari ide sederhana. Mungkin maksud anda bukan 'ide'nya yang sederhana... tapi 'modal'nya yang sederhana :) Jadi point saya, bukanlah ide itu sederhana atau tidak, tapi apakah kita akan melakukan sesuatu atas ide itu. Sebuah ide tanpa action, akan tetap menjadi sebuah ide.

Apapun bidangnya: IT, Elektronik, Semen, Biofuel, cocok tanam, dlsb, jika tidak dilakukan dengan profesional tidak akan berhasil. Kita harus pintar melihat apa yang menjadi differentiation factor dari produk kita. Dan, berani untuk mengembangkannya menjadi produk bertaraf international. Kenapa ngga kan?

Mohon maaf lahir bathin juga. :)

-dyn