Sabtu, 20 Oktober 2007

Business Brief: Bundling--Sebuah Fenomena baru Perang Harga


Saat saya ingin menulis mengenai topik ini, jujur saya bingung apakah akan memasukkannya pada Business Brief ataukah Technology Brief. But, karena bundling adalah metode bisnis yang bisa berlaku di bidang manapun, maka saya masukkan ke kategori Business Brief. Sorry jika ada yang tidak berkenan :)

Jika anda perhatikan baik-baik belakangan ini, begitu banyak operator selular maupun Fixed-Wireless Access yang melakukan bundling dalam menawarkan layanannya. Bundling yang dilakukan bisa saja berupa perpaduan sekian banyak layanan yang berbeda, atau perpaduan antara layanan dan perangkat telekomunikasi yang digabung dalam satu paket murah. Hal ini sebenarnya sudah sangat lazim terjadi di operator asing di negara-negara maju untuk menjaring pelanggan baru.
Bundling pada awalnya diimplementasikan pada market postpaid. Mengapa begitu? Biasanya bundling disertai dengan suatu komitmen karena operator telah melakukan subsidi didepan terhadap layanan maupun perangkat telekomunikasi yang diberikan. Tujuannya adalah, agar si pelanggan otomatis akan terikat dengan kontrak yang bisa berlangsung antara 1 - 2 tahun dan pada kurun waktu itulah operator akan pelan-pelan mendapatkan revenue untuk menutup subsidi dan syukur-syukur mendapatkan margin untung yang signifikan. Customer retention adalah tujuan utamanya. Tentunya, untuk mendapat margin keuntungan yang signifikan, selama kurun waktu kontrak, operator juga harus melakukan penawaran terus-menerus atas layanan-layanannya yang lain sehingga pelanggan secara tidak sadar memakai lebih dari sekadar basic services.

Konsep dari bundling sendiri sebenarnya sangat sederhana. Setiap orang akan lebih enggan untuk mengeluarkan uang terlalu besar dimuka, dibanding dengan menyicilnya sedikit demi sedikit sehingga tanpa terasa semua biaya akhirnya tertutupi. Dan konsep itu dapat dikatakan hampir benar 100%. Jika anda pergi ke luar negeri, sebut saja UK misalnya, anda akan melihat begitu banyak paket-paket bundling yang, bahkan, menyatukan penggabungan beberapa layanan dan perangkat telekomunikasi. SMS, akses data, voice call dan handset terbaru di-bundling dalam satu paket murah dengan kontrak 2 tahun. Hanya dengan berbekal £0, pelanggan dapat membawa pulang handset terbaru--bukan tercanggih tentunya, tapi cukuplah...--dan menggunakannya saat itu juga untuk melakukan kegiatan komunikasi. Jika ingin handset tercanggih pun, mereka tidak perlu mengeluarkan kocek terlalu banyak dibandingkan dengan membeli handset langsung tanpa paket. Tentu operator berani melakukan hal ini bagi pelanggan postpaid karena untuk menjadi pelanggan postpaid setiap calon pelanggan harus melalui survey yang ketat atas kondisi keuangannya. Utility bills ataupun gaji bulanan adalah beberapa contoh komponen yang disurvey oleh operator. Hal ini pastinya sangat berguna bagi operator negara maju yang memang mayoritas penggunanya adalah pelanggan postpaid dan verifikasi data mudah dilakukan. Sedangkan, pada negara berkembang seperti Indonesia yang pelanggan postpaidnya tidak lebih dari 10%, tentunya hal ini tidak terlalu relevan.
Apakah yang dilakukan operator Indonesia?

Selain melakukan bundling untuk pelanggan postpaid, mereka mulai memberanikan diri untuk menawarkan bundling bagi pelanggan prepaid. Tindakan berani ini sudah mulai dilakukan beberapa operator FWA maupun selular. Lihat saja bagaimana Esia melakukan bundling dengan menjual layanan prepaidnya berikut low-cost handset ZTE seharga Rp. 199,000 saja. Laris bak kacang goreng. Langkah tersebut baru saja diikuti oleh Telkomsel dengan mengeluarkan bundling layanan kartuAS dengan low-cost handset Haier seharga Rp. 299,000. Indosat pun sempat melakukan hal yang sama dengan mem-bundling layanan prepaidnya dengan low-cost handset-nya Nokia. Bagaimana sebenarnya model bisnis bundling layanan prepaid ini? Mengapa mereka begitu berani?

Perlu diingat bahwa munculnya low-cost handset ini sendiri, atau yang populer disebut dengan Ultra Low-Cost Handset (ULCH), adalah gerakan yang mendunia. Tujuan mulianya adalah memberdayakan ekonomi masyarakat melalui kemudahan berkomunikasi dengan menyediakan handset yang affordable. Dimulai dengan initiatif GSMA untuk mentenderkan ULCH ke beberapa handset vendor yang kemudian dimenangkan oleh Motorola. Targetnya adalah meluncurkan produk handset GSM dengan harga tak lebih dari US$30. Gerakan ini disambut baik oleh beberapa operator dan vendor lain yang kemudian berusaha membuat hal serupa. Mengapa demikian? Dari trend yang ada saat ini, negara-negara berkembang adalah potensi terbesar market selular dengan tingkat penetrasi yang masih rendah dimana mayoritas market yang belum terjamah adalah masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah; Sementara negara-negara maju sudah masuk pada kondisi maturity dimana penetrasi bahkan sudah lebih dari 100%!
Selain itu, dengan lebih dari 400 produsen handset kelas C, Cina dapat mensupply operator dengan perangkat yang relatif murah dan fitur yang atraktif--mohon dikesampingkan dahulu masalah kualitas untuk yang satu ini :) Jadi, tren memang mengarah kesana.

Kembali ke masalah bagaimana bisnis model operator Indonesia, maka kita dapat melihat dua pendekatan bisnis. Pertama adalah sinergi dengan prinsipal vendor (atau distributor yang ditunjuk prinsipal); kedua adalah metode subsidi yang kurang lebih sama dengan model postpaid.
Perlu anda ketahui bahwa operator di Indonesia tidak memiliki hak untuk mengimpor handset. Hak ini hanya diberikan kepada distributor handset saja. Spiritnya tentunya adalah bagi-bagi kue rejeki. Operator hanya mempunyai hak untuk menjual layanan saja kepada pelanggan. Oleh sebab itu, bundling adalah langkah kamuflase yang tepat. Nah, untuk dapat memancing calon pelanggan memulai menggunakan layanan selular tentunya perlu melakukan bundling tersebut. Itulah sebabnya operator bekerjasama dengan prinsipal vendor handset... dan gayung pun bersambut. Untuk model ini, biasanya pihak vendor lah yang melakukan investasi handset (atau distributor yang ditunjuk) dan handset tentunya tetap menggunakan brand originalnya. Otomatis, harga handset masih relatif lebih mahal karena tidak ada subsidi dari pihak operator. Tapi mengapa handset bisa murah? Vendor yakin bahwa operator yang bekerjasama dengannya adalah operator besar yang dapat menjual handset melampaui batas minimum produksi. Pendekatan ini, tentu saja, hanya bisa berlaku pada operator-operator besar, seperti Telkomsel.
Untuk model yang kedua, operator melakukan investasi dengan membeli handset didepan, dan kemudian menjualnya dengan harga yang lebih murah (subsidi) dengan asumsi bahwa biaya subsidi dapat dikembalikan melalui pemakaian layanan--mirip dengan pendekatan bundling postpaid. Dengan kenyataan bahwa operator tidak dapat mengimpor handset, maka operator menunjuk distributor yang dipercaya atau distributor yang memang sister company untuk mengimpor handset tersebut on behalf of operator. Inilah yang dilakukan oleh Esia. Oleh sebab itu handsetpun dapat dibranding penuh oleh Esia dan di-lock hanya dapat digunakan pada network Esia. Hasilnya memang luar biasa. Dengan harga yang extra murah, handset menjadi sangat laku. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Mungkin anda masih ingat tragedi handset Samsung hasil bundling Fren yang di-unlock oleh beberapa oknum penjual HP yang berujung ke meja hijau. Tinggal tunggu waktu, handset Esia bisa bernasib sama bila tarif Esia tidak dijaga untuk terus menjadi yang termurah. Handset tetap Esia, tapi langganan ke operator lain. Itulah fenomena yang sekarang terjadi di Indonesia.

Bagaimana dengan trend di negara maju saat ini? Berdasarkan study yang dilakukan KPMG yang dipublikasikan pada situs cellular-news, operator negara maju mulai melakukan layanan yang lebih advance, yaitu bundling layanan multimedia triple-play. Apakah triple-play itu? Triple-play adalah gabungan antara video, suara dan data dalam satu kanal atau layanan multimedia. Hal ini sebagai langkah operator untuk menarik pelanggan baru ditengah kejenuhan pasar. Metode bundling ini dengan digabung dengan fitur unified billing, bertujuan akhir untuk mempermudah pelanggan sehingga menarik mereka untuk berpindah operator. Tetapi karena ujung-ujungnya harga bundling lah yang menjadi highlight dari program operator, alhasil akan bernasib sama: pelanggan berpindah operator hanya untuk menikmati harga yang murah dalam waktu singkat. Retensi bisa dikatakan tidak akan berhasil optimal. Hasil survey KPMG tersebut yang dilakukan dengan mengambil sample 4,400 pengguna di 16 negara (Asia, Amerika, Eropa) menunjukkan bahwa 57% pengguna mengganggap tarif atau harga sebagai pendorong utama untuk berpindah operator. Ternyata, tidak hanya orang Indonesia saja yah yang price sensitive :) Dari hasil ini dapat disimpulkan pula bahwa secanggih-canggihnya sebuah operator dalam mendeploy layanan triple-playnya, tidak akan berakibat banyak atas penambahan jumlah pelanggan. Pelanggan dapat berpindah operator dengan mudah bila ada tarif lebih murah. Mungkin ini bisa berlaku jamak bila number portability sudah digunakan di semua negara termasuk Indonesia. Tetapi bukan berarti pula hal tersebut tidak bisa terjadi saat ini juga. Dan fenomena handset Samsung Fren adalah contoh real.


Sekarang, bagaimana menurut anda? Apakah tarif tetap akan menjadi driver utama dalam memilih sesuatu? Ataukah masih ada driver lain yang lebih penting seperti: coverage/distribusi/availability atau fitur yang canggih? Apakah bundling masih menjadi metode yang efektif dalam mengakuisisi dan meretensi pelanggan, ataukah akhirnya hanya membebani expenditure operator dalam mensubsidi layanan?

Tentunya semua harus teruji di tahun-tahun ke depan. Argumen anda?


Have a nice weekend!


-dyn

Art & Living Brief: BlackBerry™ Addict

Anda pengguna BlackBerry? Kalau ya, anda kemungkinan besar sama dengan saya... Saya sering sekali secara tidak sadar mengecek layar BlackBerry saya, menunggu email datang atau teman menyapa via messenger atau sekedar SMS atau surfing internet. Kadang, bila tidak ada email masuk atau teman yang menyapa, saya mulai ngerasa nervous. What happens to everybody? Are they alive? Do they know I'm here online with my BlackBerry now? Dan mulailah saya berinisiatif membangun komunikasi baru, yang kadang ngga penting :). Dan itu berlangsung tiap hari. Itulah BlackBerry Addict, atau populer disebut dengan CrackBerry.
Saya sudah 4 tahun menjadi pemakai setia BlackBerry. Pernah suatu waktu saya coba berpindah ke smartphone yang lain--Nokia atau PocketPC--ternyata keduanya tidak memberikan kepuasan yang saya cari dan nikmati seperti selama saya memakai BlackBerry. Mengapa BlackBerry begitu spesial buat saya?

Sebelum saya melanjutkan tulisan ini, just for you info, saya tidak ada hubungan langsung dengan RIM (pemegang trademark BlackBerry), kecuali karena saya pernah membantu operator telekomunikasi dalam melaunching layanan ini. So, I'm not selling BlackBerry products now, or discrediting other mobile phone brands, but merely sharing my thoughts and experience. Saya yakin, setiap brand smartphone mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Again, kenapa BlackBerry begitu spesial buat saya?

Yang pertama adalah simplicity. Menu aplikasi BlackBerry sangat simple, dan full menu dapat diraih hanya dengan satu klik pada 'trackwheel' atau tombol 'BlackBerry'--pada device jenis terbaru--setiap saat. Kita tidak perlu repot untuk mengakses ke begitu banyak cascading menu.
Setup BlackBerry pun sangat mudah. Saya tak perlu lagi mengingat-ingat setting GPRS atau MMS, karena semuanya akan dipush dari network. Jika kita mengganti handheld dengan yang baru, otomatis setting akan dikirim ulang untuk handheld yang baru itu. Saat roaming pun, kita tidak perlu repot mengubah-ubah GPRS setting lagi. Sangat mudah bukan?

Kedua Fungsionalitas. Aplikasi yang disediakan bisa dibilang 90% terpakai dengan baik sesuai fungsinya, tidak sia-sia.
Saya suka dengan PocketPC yang begitu kaya dengan third-party software, tapi tidak semuanya ternyata saya perlukan. Sedangkan BlackBerry seperti dibuat sesuai dengan apa yang saya mau dan apa yang saya butuhkan dari sebuah smartphone, tanpa perlu third-party software. Contoh paling menarik adalah ketika membuka attachment. Dengan smartphone lain, file sebesar 300kb lebih akan susah dan lama untuk di download dan dibuka. Dengan BlackBerry, hal ini akan mudah dilakukan karena server BlackBerry akan melakukan transcoding dan kompresi sebelum file dikirim ke handset kita.
Handsetnya sendiri sangat rigid, apalagi untuk model2 yang lama. Dengan menggunakan bahan yang mirip seperti HP Motorola generasi awal StarTac, handset BlackBerry didesain kuat untuk jatuh dari ketinggian 4 tingkat. Uniknya lagi, batere didesain untuk mudah lepas saat jatuh. Maksudnya adalah agar data tidak corrupt bila jatuh ke air.
Untuk fungsi Keamanan, BlackBerry adalah yang nomor satu. Data dienkripsi menggunakan 3DES atau AES--keduanya minimal 128-bit encryption key--end-to-end dari handheld sampai server di kantor. So, tidak perlu takut data dapat dibaca orang lain saat diperjalanan. Jika handheld hilang, kita dapat menghapus semua data penting dari jauh sehingga pencuri tidak dapat menggunakan data-data kita tersebut untuk kejahatan.
Juga, walaupun BlackBerry generasi sekarang sudah memiliki Bluetooth, tidak mudah bagi hacker untuk mengaksesnya. Seluruh komunikasi harus di-initiate oleh pengguna BlackBerry dan dibuka untuk waktu yang sangat terbatas.

Ketiga, konektivitas. Masih berhubungan dengan fungsionalitas, BlackBerry memberikan 2 hal penting yang saya butuhkan dari smartphone: kemudahan komunikasi dan konsistensi konektivitas. Dua hal ini adalah kekuatan BlackBerry. Komunikasi data begitu mudah digunakan. Email benar-benar terintegrasi dengan server mail kantor dan saya dapat membuka situs-situs intranet kantor yang sangat berguna dalam melaksanakan pekerjaan. Belum lagi kemudahan untuk dapat mengontrol komputer dan server di kantor hanya dengan menggunakan satu device kecil ini. Hal ini bisa dimungkinkan dengan fitur VPN pada layanan BlackBerry Enterprise Server (BES) yang khusus bagi pengguna korporat. Kita juga punya kontrol yang tinggi terhadap email kantor kita. Apa yang kita lakukan pada email kita di handheld, termasuk deletion, dapat disinkronkan dengan server.
Konektivitas juga begitu konsisten. Saya menggunakan Yahoo Messenger, GTalk dan BlackBerry Messenger saat ini. Ketiga-tiganya dapat online secara bersamaaan tanpa mengambil terlalu banyak memory bahkan plus fitur yang tidak ada di client mobile messenger lain: conference chat. Dan lagi kita dapat meng-customize alert untuk setiap layanan: SMS, email, mms, Yahoo Messenger, GTalk, dan lainnya. Belum lagi browser dan peta plus GPS yang penuh dengan option dan mudah digunakan.

Keempat, tentunya Hemat. Memang kita perlu membayar lebih tiap bulan untuk berlangganan BlackBerry. Tapi dengan Rp199,000 contohnya jika menggunakan operator XL, kita sudah mendapatkan akses untuk 10 account email (kantor plus pribadi), unlimited data access jika menggunakan APN blackberry.net (jika browsing menggunakan internet browser atau blackberry browser), plus 50MB free jika menggunakan APN xlgprs (jika memakan WAP browser atau dialup via komputer sebagai modem). Jelas, saya tidak perlu takut lagi dengan bill shock karena data usage saya yang besar, karena data sudah unlimited.
Jika saya tugas ke luar negeri pun, saya tak perlu takut. Email dipotong-potong sebelum masuk, begitu juga email yang selain di transcoding dan dikompres juga di kirimkan secara staging. Contoh saja kita ingin melihat file gambar yang besarnya 3MB, setelah dikonversi maka akan berubah menjadi hanya puluhan kB saja, walau dengan resolusi lebih rendah. Jika kita membutuhkan resolusi lebih tinggi, kita tinggal merequest--dan itupun bisa dengan memilih bagian-bagian tertentu saja yang diperjelas. Hal yang sama dapat dilakukan untuk file dokumen.
Bagaimana dengan browsing? Tidak berbeda. Server browsing BlackBerry akan mentranscode dan kompres data sehingga lebih efisien dan mudah dibaca di handheld.

Nah, 4 point diatas lah yang menyebabkan BlackBerry terus melekat di tangan saya setelah 4 tahun, and make me a CrackBerry. Memang BlackBerry jaman 4 tahun yang lalu bentuknya masih sangat kuno... Tapi saya tetap saja cinta :)

BlackBerry juga bukan barang sempurna. Ada beberapa kekurangan BlackBerry yang bisa saya catat:

Teknologi Multimedia. BlackBerry masih kurang dalam hal yang satu ini, tetapi lambat laun mulai membenahi diri. Saat ini, kamera tidak bisa merekam video dan browser belum mensupport flash player dan streaming. Browser juga belum mensupport multitab yang sekarang populer untuk memudahkan browsing experience.

Single point of failure. Karena server pengontrol BlackBerry terpusat di Canada untuk melayani seluruh dunia, maka jika sesuatu terjadi disana atau link kesana putus, maka otomatis layanan tidak akan berfungsi. Hal ini sempat terjadi di Amerika, ketika server yang melayani daerah tersebut mengalami gangguan. Semua BlackBerry disana mengalami blackout selama 10 jam!

Mengedit dan membuat dokumen. Sampai saat ini, pengguna BlackBerry belum dapat mengedit dokumen yang di attach pada email. Begitu pula untuk membuat dokumen .doc, .xls atau .ppt, saat ini belum disupport. Pengguna hanya bisa melampirkan foto dan business card jika membuat email baru.

Selebihnya, BlackBerry is a nice piece of device :)
Ngga percaya? Silakan mencoba! Jangan salahkan saya jika anda nantinya become another BlackBerry addict hehehe...

Have a good day!

-dyn

Dony Yuliardi @ BlackBerry Curve via XL

Selasa, 16 Oktober 2007

Technology Brief: PTT part 1--PTT yang 'Hidup segan, Mati tak mau'

Saya yakin jika anda laki-laki, pernah di masa anda kecil berangan-angan menjadi prajurit atau polisi. Dengan lagak bagai seorang kapten, anda akan memegang mainan menyerupai Handy-Talky (HT) plus senjata api dan mulai menyusun strategi tempur bersama teman-teman. Dor! Dor! Senangnya masa itu... :)
HT mempunyai kelebihan tersendiri yang belum tergantikan oleh teknologi selular yang saat ini ada di Indonesia: murah, komunikasi instan dan layanan point-to-multipoint. Itulah yang membuat HT begitu spesial, yang membuat teknologinya masih terpakai terus sampai sekarang. PSS (Public Safety & Security)--temasuk polisi dan militer seperti ilustrasi diatas--adalah salah satu wilayah profesi yang sangat intens menggunakan teknologi ini, terutama untuk kebutuhan koordinasi dalam satu grup task force oleh sang komandan. Bahkan, untuk menambah jangkauan dan privacy pembicaraan, HT telah berkembang menjadi radio trunking dengan pendekatan teknologi semi-selular. Kemudian muncul satu pertanyaan baru: apakah dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat yang tujuannya mempermudah pengguna, setiap anggota PSS harus membawa 2 buah gadget, telfon selular dan HT? Jawabannya, tidak harus... Walau bukan berarti tidak 100%. So, why is that?

Bayangkan kemampuan HT ataupun radio trunking itu dapat diadopsi di telfon genggam yang sehari-hari kita bawa. Tentunya, segalanya menjadi lebih praktis. Konsep itulah yang membuat Nextel--sebuah operator selular di USA, sekarang SPRINT--pertama kali memperkenalkan teknologi Push-to-talk (PTT) over cellular, atau sering disebut sebagai POC, pada awal tahun 90-an. Sesuai dengan teknologi selular yang dipakai saat itu, iDEN, maka PoC pun masih dijalankan menggunakan jalur circuit switch (CS), yaitu jalur yang sama persis dengan komunikasi normal. Hanya saja, sesuai dengan nature of service-nya, PTT adalah tetap merupakan komunikasi half duplex dimana hanya salah satu pengguna yang dapat menggunakan jalur yang ada untuk berbicara ke pengguna yang lain. Penggunaan PoC atau PTT ini pun meningkat oleh pelanggan Nextel, mulai dari kegiatan amatir sampai profesional, terutama karena model pentarifannya yang semakin menarik. Pelanggan Nextel/SPRINT dapat menggunakan layanan ini hanya dengan membayar biaya bulanan saja. Kekurangan teknologi yang dipakai Nextel adalah masih digunakannya jalur circuit switch dan teknologi yang tidak standar--menggunakan iDEN yang proprietary Motorola. Penggunaan circuit switch (CS) dipandang terlalu kuno karena CS membatasi added value yang dapat dibangun dalam fitur layanan ini. Dengan CS, manfaat dari PoC hanya terbatas pada fitur standar HT.

Sejak awal abad 21, dengan mulai diperkenalkannya teknologi GPRS (General Packet Radio Service) pada GSM (atau IS-136) yang merupakan sistem selular terpopuler dan layanan data pada CDMA 1x, munculah konsep PoC yang baru, yang menggunakan jalur Packet Switch (PS) dan bukan lagi CS. PS adalah jalur data yang metode utilisasi kanalnya menggunakan metode Internet Protocol (IP), sehingga membuat utilisasi kanal lebih efisien. Pada GSM, akses GPRS bisa mengokupasi mulai 1 sampai 4 kanal frekuensi radio--yang umum diperbolehkan--dari total 8 kanal, sehingga menyisakan 7 sampai 4 kanal lain untuk keperluan suara. 1 kanal frekuensi saja dapat digunakan oleh lebih dari satu pengguna, dengan pembagian berdasarkan waktu (time division) dan model antrian First come, First serve. Contoh saja, dalam 1 kanal frekuensi akan digunakan oleh pengguna A, B dan C untuk mengakses GPRS. Maka, paket data (burst) pengguna akan mengantri berdasarkan waktu yang paling dulu sampai, misalnya: t1 untuk si A, t2 untuk si B, t3 untuk si A lagi, t4 untuk si C, dst. Disisi core network, data tadi akan dipisah sesampainya di BSC oleh modul PCU (Packet Control Unit) untuk diteruskan ke core GPRS network, yaitu SGSN dan GGSN, menggunakan IP protocol. Dengan koneksi menggunakan IP, begitu luas kemungkinan dan kesempatan mengawinkan begitu banyak aplikasi core berbasis IP dengan aplikasi handset.

PoC sebagai salah satu aplikasi pun mulai dirancang untuk menggunakan jalur IP ini via GPRS core network. Dengan menggunakan teknologi jalur data, aplikasi PoC dapat berkembang begitu luas. Bayangkan aplikasi PoC tersebut dalam bentuk buddy list layaknya aplikasi messenger. Jika ingin menghubungi seseorang secara instan, kita tinggal menekan salah satu anggota buddy list yang ingin dituju dan langsung berbicara. Banyak informasi dan aplikasi tambahan yang bisa diasosiasikan dengan buddy list tersebut selain push-to-talk: instant messaging, presence information (location, status, dll), group call (predefined, ad-hoc, instant), black/white list, push-to-transfer file, push-to-email, push-to-emergency access, push-to-video call dan push-to-action yang lainnya. Semuanya bisa dilakukan dengan pengembangan software aplikasi baik di sisi network maupun handset. Berdasarkan arsitektur, tentunya PoC platform berada di belakang GPRS network. Dari situlah, platform tersebut akan mengagregasi informasi yang didapat untuk kemudian diproses menjadi informasi yang berguna bagi lawan bicara.

Ditilik dari aplikasi-aplikasi yang mungkin diterapkan pada layanan PoC, banyak segmen yang potensial untuk masuk dalam target market PoC. Selain PSS, ada beberapa area profesional lain yang membutuhkan koordinasi grup yang instan. Contoh saja, pekerja lapangan penambangan minyak yang harus melakukan koordinasi instan di wilayah yang sangat berjauhan, dimana HT atau trunking tidak bisa menjangkau lagi. Bahkan, dengan spesifikasi baru dibawah OMA (Open Mobile Alliance), PTT dapat berjalan melalui jaringan Wifi/WLAN juga. Ini membuka kemungkinan makin besar untuk deployment PTT/PoC pada perangkat dual mode GSM/WLAN dengan melakukan ekstensi jaringan menggunakan WLAN yang berbiaya lebih murah... Atau mungkin bahkan WIMAX. WLAN adalah salah satu solusi mobile corporate yang sedang populer saat ini, digabungkan dengan layanan CUG (Corporate User Group) menggunakan IP PBX (semacam PABX menggunakan IP network).
Selain solusi bisnis ataupun profesional lainnya, PoC juga mempunyai potensi yang baik diwilayah retail. Kalangan muda adalah segmen yang paling potensial. Dengan model pentarifan yang masuk akal, mereka akan otomatis tertarik menggunakan PoC untuk berkomunikasi dalam sesama peer group mereka. Diskusi akan tambah menarik dengan kemampuan komunikasi instan dan group call (one-to-multipoint) di dalam satu peer group; apalagi jika buddy list bisa dengan mudah menunjukkan status dan posisi kawan. It's like reviving the old ORARI's days! :) tapi dengan solusi yang lebih canggih tentunya.
Melihat begitu banyak kegunaan yang dapat diberikan oleh PoC ini, mengapa layanan ini belum 'fly' juga sampai saat ini?

Ada dua problem utama dalam mengimplementasikan PoC yaitu standar teknologi PTT dan arsitektur core network yang dipakai untuk mendukungnya.

Standar PoC/PTT
Platform layanan PoC yang saat ini ada di market masih sangat vendor dependent atau proprietary. Beberapa vendor network--dipelopori oleh Motorola--membuat versi sendiri-sendiri untuk PoC ini, sehingga solusi yang ada belum dapat mengakomodasi perbedaan handset dan compatibility antara sistem PTT yang berbeda. Tetapi belakangan, dibawah bendera OMA dan 3GPP/3GPP2--dipelopori oleh Wireless Village di awal tahun 2000-an, beberapa vendor mulai bergabung dan sepakat membuat standar common platform. Problemnya, sampai saat ini pun sang standar urung rampung. Hal ini menyebabkan delay berkepanjangan terhadap deployment sistem PoC, walaupun sudah begitu banyak studi kelayakan yang menunjukan potensi positif. 2 vendor yang sangat aktif dalam melakukan deployment intermediary solution untuk PoC adalah Nokia (NSN) dan Motorola. Dominasi dan inisiatif kedua vendor network ini didorong oleh kebutuhan market maupun history mereka dalam bisnis PTT: Nokia, yang juga merupakan vendor handset dengan market share terbesar di dunia, sudah sejak awal tahun 2000an membekali handset GPRS mereka dengan software PoC; sangat disayangkan bila potensi ini tidak segera di-monetize dengan dukungan perangkat back-end network. Sedangkan Motorola, sebagai pelopor PTT, terus berusaha menempatkan dirinya sebagai leader di layanan ini. Oleh sebab itu, Motorola terus aktif mengembangkan sistem PTT-nya dan melakukan uji coba dengan beberapa operator telekomunikasi.
Saat ini sudah ada beberapa operator GSM yang men-deploy PoC baik dengan NSN atau Motorola atau solusi lain, tetapi belum dapat melakukan interkoneksi antar dua sistem yang berbeda. Dengan kata lain, roaming dan interkoneksi belum disupport oleh layanan ini. Tentu, hal ini mengurangi take-up rate layanan oleh market. Apalagi, pelanggan harus terlebih dahulu men-download software ke handheld mereka agar dapat bekerja secara compatible dengan sistem PoC yang di-deploy. Suatu hari nanti, jika standar solusi PoC sudah benar-benar seragam, kemungkinan besar acceptibility market terhadap layanan ini akan jauh lebih baik. Detail mengenai perkembangan standar solusi dan cara kerja PoC akan saya bahas pada PART 2.

Core Network
Problem kedua adalah arsitektur core network yang menunjang layanan ini. Layanan PoC sebenarnya lebih ideal bila beroperasi pada network yang sudah IMS-based. IMS (IP Multimedia Subsystem) adalah NGN (Next Generation Network) atau network generasi ke-4, yang menggunakan 'all IP' dalam jaringan networknya. Seperti kita ketahui, saat ini mayoritas operator masih menggunakan network generasi ke-3, seperti UMTS, dimana voice call ataupun video call masih menggunakan jalur TDM (time-division multiplexing) dengan voice trunking dan SS7 signalling yang membutuhkan dedicated bandwidth untuk setiap call. Pada IMS, seluruh komunikasi akan dibuat sangat efisien menggunakan protokol IP dalam bentuk data, sehingga tidak diperlukan dedicated bandwidth untuk setiap call. Otomatis, karena sudah menggunakan all IP, hampir tidak ada perbedaan antara network voice dengan GPRS--semua tergabung dalam IP core network. Disinilah kelebihan IMS, sehingga aplikasi-aplikasi tambahan pada buddy list dapat berfungsi dengan maksimal. Apalagi bila akses data sudah mencapai bitrate yang sangat tinggi, diskala Mbps ke atas. Karena IMS masih sangat mahal untuk diimplementasikan, belum lagi handset yang belum compatible, maka mau tak mau operator harus melirik solusi yang paling reasonable yang dapat ditunjang oleh existing network mereka.
Solusi PoC non-IMS adalah menggunakan metode server-based. Signal data suara akan berjalan pada jaringan data GPRS untuk kemudian dikirim ke server PoC yang terhubung ke jaringan GPRS. Inilah yang kemudian melakukan kontrol terhadap komunikasi PTT. Tentunya, solusi ini belum bisa dibilang ideal, tapi paling tidak sudah dapat mengakomodasi mayoritas fungsi PoC.
Detail mengenai perbedaan sistem akan saya jelaskan pada PART 2.

Jelaslah sekarang bahwa PTT atau PoC sangatlah potensial. Oleh sebab itu, handset Nokia pun sampai saat ini masih menempatkan menu PTT di firmware-nya. Sayangnya, ketidakseragaman standar sistem PTT menyebabkan solusi ini belum diadopsi oleh operator. Belum lagi pembuatan standar ini memakan waktu yang begitu lama, sehingga sampai saat ini standar belum juga rampung. Kapankah operator di Indonesia akan mengadopsi layanan ini? Tentunya mereka juga sedang dalam posisi wait-and-see. Mereka tidak akan mau gegabah melakukan investasi untuk sesuatu yang belum standar dan final. Sekarang, kita hanya bisa menunggu solusi ini rampung. Sampai saat itu terjadi, kita cuma bisa gigit jari membayangkan bermain PTT dengan rekan-rekan sekantor, atau teman bermain.
PTT... Malangnya nasibmu. Bagai hidup segan, mati tak mau...

-dyn



Dony Yuliardi @ BlackBerry Curve via XL

Jumat, 12 Oktober 2007

Business Brief: Grey Campaign vs. Black Campaign

Jika anda pernah ke Amerika atau suka membuka-buka situs www.ifilm.com, pasti anda sering tersenyum-senyum sendiri atau malah tertawa terpingkal-pingkal melihat betapa seru dan lucunya perusahaan yang bersaing disana membuat iklan yang secara langsung menjatuhkan produk pesaingnya. Sebut saja Coca Cola vs. Pepsi, atau Microsoft vs. Apple Mac. Secara terang-terangan mereka membuat materi iklan yang menyebut nama pesaing utamanya, membandingkan kemampuan antara keduanya, dan pada akhirnya menjelekkan produk pesaing. Terkadang bahkan, mereka membuat lelucon-lelucon yang ditujukan untuk mencela produk pesaing. Fungsi lelucon itu tentunya, agar kelemahan-kelemahan produk pesaing dapat dengan mudah dicerna dan diingat oleh pemirsa iklan. Pendekatan melalui aksi-aksi itulah yang disebut dengan Black Campaign, karena menitik beratkan pada sisi gelap/buruk produk pesaing utama, dan mengasosiasikannya dengan brand pesaing tersebut agar mudah diingat. Tentu, fenomena seperti ini sempat sangat asing di mata orang Indonesia. Kita, yang mencoba mencanangkan norma kesopanan adat timur dalam setiap sendi kehidupan, sudah terbiasa dengan iklan sopan--iklan yang hanya menyebutkan keunggulan produk yang dijual tanpa menyinggung produk kompetitor. Semangat ini, saya pikir, adalah semangat yang terpuji. Norma tersebut tentunya applicable diseluruh ranah dunia kompetisi masa lalu, termasuk dunia politik seperti pada masa kampanye pemilu ORBA--tenang, damai.

Tapi sepertinya Indonesia sudah berubah. Manusia-manusianya mulai bertransformasi, mensinkronkan dirinya secara otomatis dengan iklim persaingan global yang 'bebas'. Hal ini, tentu saja, terjadi karena mulai terusiknya kestabilan akibat persaingan yang begitu ketat, potensi market yang semakin kecil, dan floating mass yang semakin kritis terhadap mutu dan pelayanan. Layaknya harimau lapar, pada saat keadaan menuntut kadar survival lebih tinggi daripada sekedar aktualisasi diri, maka siapapun yang menghadang harus siap cakar-cakaran... Kalau perlu, 'bunuh-bunuhan'. Itulah wajah kapitalisme. Dan Black Campaign adalah fenomena yang mungkin akan mulai merasuki kancah persaingan bisnis dan politik negeri ini. Lihat saja bagaimana para pendukung calon presiden atau anggota partai mulai mengambil simpati calon konstituen mereka--terutama yang berstatus floating mass--dengan cara membeberkan kesalahan atau keburukan rival terdekat, baik benar atau dibuat-buat, ke media pers yang semakin kuat peranannya dan mudah disuap (no offense, teman2 pers). Mengerikan memang... Dan seakan tanpa hati nurani sama sekali, terlihat kampungan. Sayang, sebagian besar pelaku politik kita tidak bisa bermain politik dengan smooth, mereka masih melakukannya dengan terlalu kasar. Ya, itulah fenomena yang sudah memasuki kancah persaingan politik negeri kita.

Bagaimana dengan pelaku bisnis? Mungkin tidak jauh berbeda. Saat ini, mereka mulai memperlihatkan gejala serupa. Lihat saja beberapa iklan minuman penyegar yang memperlihatkan botol pesaingnya sebagai komparasi; walau image-nya sedikit di-blur untuk mengesankan tidak adanya intensi untuk menjelek-jelekkan produk pesaing, pemirsa iklan bisa dengan mudah menebak brand yang diserang--baik dari bentuk botol maupun warna yang dominan. Begitu pula dengan produk lain seperti sabun cuci baju, insektisida, dan lain sebagainya. Yang menarik adalah mereka tetap tidak mau terlihat terang-terangan menyerang. Brand pesaing tidak pernah disebut atau diperlihatkan dengan jelas. Mungkin mereka tidak mau dicap sebagai perusahaan yang suka menjelek-jelekkan produk perusahaan lain, atau memang pemirsa kita belum siap untuk itu sehingga jika diterapkan hal itu bisa saja jadi senjata makan tuan--mereka bis dituduh sebagai pemfitnah. Seingat saya, secara kode etik periklanan kita juga model Black Campaign tidak diperbolehkan (mohon bantuan temen2 praktisi atau regulator periklanan untuk yang satu ini). Oleh sebab itu, kita tidak perlu takut. Indonesia tetap Indonesia. Manusia Indonesia masih punya nurani ketimuran yang secara tidak sadar menyetop kegiatan-kegiatan diluar norma yang tercatat di memory bank otak tak sadar kita sejak kita kecil. Maka, bentuk persaingan yang masih ada masih relatif terkontrol dan pelaku bisnis masih melakukannya dengan cukup elegan.

Yang menarik sebetulnya adalah, impact dari fenomena diatas. Dengan kenyataan adanya kebutuhan Black Campaign dari para pengiklan dan, secara kontradiktif, adanya kebutuhan untuk tetap dianggap sebagai perusahaan putih oleh pemirsa iklan--perusahaan yang dianggap baik dan tidak suka memfitnah pesaing--maka terjadilah bentuk campaign baru, yang saya sebut sebagai Grey Campaign. Grey Campaign dalam konsep saya sebenarnya adalah Black Campaign yang tanggung, yang terbataskan oleh norma sosial. Tak seperti di Amerika sebagaimana saya jelaskan diawal artikel, tapi lebih seperti contoh iklan larutan penyegar tadi. Apa impact dari model tersebut? Karena tidak dapat memperlihat kan image/brand produk kompetitor, pengiklan harus berusaha mencari kelemahan pesaing dari segi yang lain... Hal-hal buruk yang biasanya disembunyikan oleh pesaing dari pelanggannya. Tendensinya adalah lebih melakukan cross education kepada publik, walaupun dengan lebih menekankan pada kelemahan pesaing. Pengiklan tentunya selalu mengiklankan produknya dengan melebih-lebihkan manfaat produk dan menutupi kekurangannya. Grey campaign bisa secara tidak langsung mengajarkan kepada publik mengenai potensi kelemahan atau kelemahan produk pesaing, sehingga calon pelanggan diajak untuk berpikir kembali sebelum membeli. Langkah ini sangat baik untuk membuat publik lebih hati-hati dalam memilih produk. Dan para pelaku bisnis otomatis akan berusaha memperbaiki mutu dan pelayanan atas produk-produknya dan juga memperbaiki cara penyampaian informasi produk mereka ke pelanggan dengan berusaha untuk lebih jujur, agar tidak lagi diserang oleh para kompetitornya.
Contoh paling menarik adalah duel produk GSM antara Mentari Indosat dan Bebas XL baru-baru ini. Dengan persaingan usaha dan target revenue yang semakin tinggi, operator terbesar ke-2 dan ke-3 di Indonesia ini bertempur habis-habisan di wilayah brand cash cow mereka. Keduanya mulai melakukan praktik Grey Campaign yang cukup heboh dan berskala nasional (lihat gambar). Sebenarnya praktik ini tidak bisa dibilang baru di dunia selular. Dimulai dengan iklan Esia yang menjelek-jelekkan produk operator lain sejak masuknya Eric Meijer dijajaran direksi, operator lain lambat laun ikut ambil bagian dalam metode ini. Dengan 10 operator memegang lisensi GSM dan CDMA, bisa dibayangkan begitu chaos-nya bagi-bagi market share di dunia telekomunikasi. Mereka berlomba-lomba menawarkan produk yang memiliki benefit yang paling pas untuk market, dan kadang membungkus syarat-syarat sehingga tak terlihat olen calon konsumen. Iklan terus bergerak ke arah hardselling. Persaingan lebih terasa lagi di wilayah-wilayah regional sales. Mereka berjuang untuk mencapai target sales mereka, sehingga melakukan gerilya untuk menjatuhkan lawan melalui Black Campaign--bukan lagi grey campaign. Bingungkah masyarakat? Termakankah mereka dengan iklan-iklan itu?

Masyarakat mungkin letih dan bingung melihatnya; tapi bagaimanapun, mereka senang mendapatkan penjelasan dua belah pihak yang berseberangan mengenai produk yang ingin mereka pakai. Mereka otomatis akan menaikkan alarm di kepala mereka agar lebih hati-hati lagi dalam memilih produk. Disinilah jelas kelebihan Grey Campaign. Bagaimana dengan Black Campaign? Black Campaign mungkin tidak cukup mendidik. Bahkan tendensinya merusak reputasi orang lain. Black Campaign tidak memaksa pelanggan untuk berpikir kembali dalam memilih produk. Mereka mem-push publik untuk setuju dengan argumen mereka mentah-mentah. Dan tentunya, masyarakat tidak akan respect dengan perusahaan yang melakukan Black Campaign, karena tindakan menjelek-jelekan brand tertentu secara jelas dan menyebut nama brand pesaing sangatlah tidak etis. Itu seperti menghalang-halangi rejeki orang lain. Ingat, kita masih punya norma budaya ketimuran. Setiap perusahaan tetap harus menghargai produk perusahaan lain, karena mereka bersama2 membangun negeri ini untuk menjadi lebih baik. Semangatnya haruslah membangun dan mendidik, bahwa grey campaign lebih untuk mengoreksi pengertian publik, bukan sekedar menyerangnya. Semangat itulah yang harus dipupuk. Tidak ada produk yang sempurna.

At last, kita harus mewarisi budaya yang baik ke generasi-generasi selanjutnya. Mereka harus peduli atas hak-hak konsumen dan respek terhadap lawan kompetisi mereka. Mereka harus belajar sportif. Jika saya boleh memilih, saya akan ambil Grey Campaign, dan membuang jauh-jauh Black Campaign. Tentunya ini bukan paksaan. Toh, kita dapat belajar bagaimana disetiap pertandingan akan diakhiri dengan bersalam-salaman... Yang tujuannya menciptakan kedamaian.
Bagaimana dengan anda?

Selamat hari Idul Fitri 1428H. Mohon maaf lahir dan bathin.
-dyn

Keterangan foto: iklan Bebas XL dan Mentari Indosat yang mulai saling menikam.
Dony Yuliardi @ BlackBerry Curve via XL

Kamis, 11 Oktober 2007

Business Brief: Go worldwide? NOW is the time

Dulu di jaman sebelum krisis moneter 1997-98, saya begitu kagum dengan konglomerasi Indonesia. Didukung dana sangat besar dan kekuasaan ORBA yang tak tergoyahkan, seakan mereka menggeliat dengan nikmatnya merambah hampir semua lini bisnis--vertikal maupun horisontal. Sebut saja Grup Salim, Grup Subentra, Grup Humpuss, Grup Bimantara dan lainnya, tentunya sangat tidak asing ditelinga kita saat itu. Dulu, dengan kekaguman, saya sering membayangkan dan menunggu-nunggu mereka dengan kekuatan yang mereka miliki saat itu bisa merambah wilayah bisnis yang lebih luas mencapai pucuk-pucuk mancanegara. Pastinya, saya sebagai bagian bangsa ini akan ikut bangga dengan prestasi mereka. Tapi siapa nyana, saat itu tak kunjung tiba, bahkan harus pupus ditelan krisis yang melanda negeri ini bersama dengan tenggelamnya kekuasaan orde baru. Jelas, mereka bukannya jatuh miskin--saya yakin mantan-mantan pemilik konglomerasi ini masih memilik pundi-pundi kekayaan yang mereka simpan dalam sekian dekade--mereka masih hidup layak walau sebagian memang sempat masuk penjara untuk waktu yang singkat, dan sebagian lagi hilang begitu saja bak ditelan bumi tak terlihat batang hidungnya lagi. Semua itu memang resiko bisnis yang sangat bergantung pada rezim yang berkuasa saat itu. Tapi apakah hanya itu penyebabnya? Sangat menarik bahwa kenyataannya ada bisnis-bisnis besar lain yang tidak terlalu goyah diterpa angin krisis. Mereka berhasil survive dengan kekuatan bisnis mereka. What is the culprit?
Mereka yang sukses untuk survive adalah perusahaan yang taktis dalam melakukan change management, selain juga mungkin tingkat dependensi yang relatif lebih rendah terhadap kekuasaan itu. Restrukturisasi hutang maupun organisasi, pengetatan budget dan perampingan bisnis adalah beberapa contoh action yang mereka lakukan. Saat ini, untungnya, masih dapat kita lihat contoh perusahaan tersebut: Bakrie, Ciputra, Sampoerna, Summarecon dan lainnya. Intinya, mereka mau berubah. Krisis memang mengajarkan manusia banyak hal, membentuk pribadi-pribadi baru yang lebih baik untuk menahan goncangan. Tahun-tahun berikutnya, mulailah tumbuh konglomerasi baru yang dulunya tak pernah terdengar, mereka-mereka yang menggeliat dengan profesional untuk menembus badai. Mungkin mereka bendera baru dengan dana lama, mungkin mereka memang baru seutuhnya. Yang jelas, dengan persaingan yang semakin bebas, konglomerasi baru ini dituntut untuk bisa membuat perusahaan yang bonafide yang dijalankan dengan prinsip-prinsip modern yang lebih profesional. Memang tidak bisa kita lepas begitu saja bisnis dari kekuasaan, dan tidak semua learning untuk membuat organisasi yang modern. Tinggal tunggu waktu saja, mereka yang terlalu bergantung dengan kekuasaan baru yang saat ini shifting dengan cepat--bayangkan saja, 4 presiden dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun--someday akan ditelan oleh waktu. Mereka harus belajar kembali, masuk 'kampus krisis'.

Saya baru saja menemukan sebuah statement menarik di majalah Newsweek edisi 8 Oktober 2007 ini, yang menyatakan bahwa 61 perusahaan yang terdaftar di Fortune500 ternyata berasal dari negara berkembang--sebuah perkembangan pesat dari hanya 28 perusahaan 10 tahun yang lalu. Perusahaan-perusahaan kelas dunia yang berasal dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa mulai kalang kabut kehilangan market share mereka. Pesaing mereka dari negara berkembang telah berhasil melakukan shift of power sedikit demi sedikit sehingga nilai capital power mulai berpindah tangan di beberapa lini industri. Dulu, orang tidak kenal Samsung, tidak kenal Hyundai, tidak kenal Lenovo juga tidak kenal Cemex. Saat ini, brand-brand itu sudah merajalela di berbagai belahan dunia. Samsung sudah berubah menjadi brand yang sangat reliable dalam bidang elektronika. Bahkan, penjualan flat TV-nya pun sudah melampaui Sony yang sebelumnya merupakan leading brand. Penjualan handsetnya juga sudah mulai melampaui Motorola dan dipenuhi begitu banyak inovasi. Samsung memang sebuah fenomena. Lenovo juga tidak jauh berbeda. Dunia dikejutkan dengan dibelinya divisi personal computing IBM oleh Lenovo. Sebuah perusahaan yang begitu besar dan dikenal dengan super komputernya, dibeli oleh sebuah perusahaan Cina yang namanya masih sangat asing ditelinga. Cemex pun tidak kalah seru ceritanya. Bermula dari sebuah toko semen di Mexico, Cemex berhasil mengembangkan sayapnya hingga menjadi produsen semen ketiga terbesar di seluruh dunia sejak tahun 1990-an. Yang menarik, Cemex menjadi besar bukan hanya karena harga yang kompetitif--seperti tipikal perusahaan negara berkembang yang lain--tapi mereka melakukan inovasi demi efisiensi dan efektifitas produksi dan distribusi produk sehingga memenuhi kebutuhan klien yang selama ini belum terjawab. Dengan beraninya, Cemex menggunakan teknologi informasi seperti GPS untuk mengontrol dan mengefisiensikan distribusi semen mereka. Samsung pun tak kalah inovatifnya. Bisa dibilang saat ini Samsung sudah mulai menjadi leader consumer electronic dengan begitu banyak inovasi baru dan cakupan industri yang vertikal, dari pembuatan komponen chip sampai barang elektronik siap pakai. Hyundai juga tak kalah serunya. Sebagai perusahaan otomotif Korea yang seringkali dituduh sebagai pengkopi, Hyundai membuat pusat riset dan desain di Amerika sehingga menciptakan produk-produk inovatif yang sesuai dengan taste negara market otomotif terbesar di dunia itu. Hasilnya? Penjualan yang eksponensial. Banyak lagi contoh-contoh lain yang serupa. Yang jelas, perusahaan-perusahaan multinasional dari negara berkembang telah berhasil mencapai pertumbuhan aset dan kapital di pasar modal dari $80 milyar menjadi $6.4 triliun dalam 25 tahun, dengan pertumbuhan 10 kali perusahaan Amerika dan 34 kali perusahaan Jepang. Luar biasa.
Temuan yang lebih menarik lagi adalah bahwa dari 25 perusahaan multinasional asal negara berkembang yang sekarang merajai pasar dunia itu, menurut survey Von Agtmael, 10 berasal dari Amerika Selatan dan hanya 1 yang berasal dari Asia Tenggara. Apakah yang menjadi penyebabnya? Bukankah dulu ditengarai bahwa negara-negara di Asia Tenggara akan menjadi macan-macan Asia yang mendunia? Ternyata, macan kita masih ompong.
Perusahaan-perusahaan Amerika Selatan yang mayoritas telah menganut sistem kapitalisme sejak berpuluh-puluh tahun, mampu menempa diri mereka untuk belajar bersaing dan survive dalam persaingan di negara mereka masing-masing. Pada akhirnya, mereka telah siap dan berpengalaman untuk berani bertarung di kelas dunia. Sementara, perusahaan di Asia Tenggara terlalu terbiasa dimanja oleh kekuasaan dan seringkali belum PeDe untuk bisa go worldwide.
Kenyataannya adalah bahwa baik perusahaan Amerika Selatan, Korea ataupun Asia Tenggara, semuanya melalui krisis ekonomi yang melanda hampir berbarengan pada era 90-an. Semuanya mengalami perubahan ekonomi makro yang dahsyat, yang menyebabkan utang mereka membengkak dan memaksa mereka melakukan perubahan yang radikal agar survive.

Menilik semua kesamaan yang ada, tidak ada alasan yang cukup sebenarnya untuk perusahaan-perusahaan besar--juga perusahaan menengah, tentunya-- di Indonesia untuk tidak berpikir 'Go Worldwide'. Dengan resources kita baik alam maupun manusianya, kita punya kemampuan yang tidak banyak berbeda dengan rekan-rekan di negara berkembang lain. Menurut saya 3 hal yang perlu kita persiapkan adalah: kepercayaan diri as a winning team (baca: PeDe), berpikir inovatif dan quality oriented.
Kepercayaan Diri adalah masalah utama bangsa ini. Selama kita menganggap para bule yang menyeberang di jalan Jaksa lebih hebat dari kita, disitu pula kita harus lihat kenyataan bahwa kita masih belum PeDe :-) Potensi diri kita tidak akan tergali maksimal saat psikologi dalam diri kita membatasi ruang gerak kita dengan berkata 'ah, aku belum mampu', 'ah, aku takut' dan pikiran-pikiran negatif berorientasi nervousness lainnya. Come on... Bangsa kita adalah salah satu dari segelintir bangsa di dunia yang mendapatkan kemerdekaan dengan perjuangan diri sendiri. Kita juga salah satu dari segelintir negara yang berhasil menghalau komunis dengan kemampuan sendiri, sampai pemerintah Filipina saat itu meminta institusi intelijen kita melatih mereka menghadapi gerakan revolusi komunis dalam negri mereka. Belum lagi jika kita lihat sekarang, begitu banyak putra Indonesia yang memenangkan berbagai olimpiade keilmuan di tingkat internasional. Bagaimana membedakan winning team atau bukan? Liat saja perbedaan permainan Susi Susanti dengan team PSSI kita diajang internasional. Dengan semangat the winning team, otomatis kita akan push ourselves to the limit. Buanglah jauh-jauh rasa rendah diri; cukup simpan rasa rendah hati. Pada akhirnya, hanya kita sendirilah yang bisa meyakinkan diri kita bahwa 'KITA SIAP'.
Berpikir Inovatif merupakan langkah besar menuju perusahaan yang berpotensial dominan di tingkat International. Ingat prinsip ATM? Analisa, Tiru, Modifikasi. Konsep itu memang harus dipakai pada awal membangun perusahaan. Apalagi untuk kita negara berkembang yang mengandalkan biaya human resources yang rendah. Tetapi, pada tahap selanjutnya, kita harus memiliki inovasi yang brilian, yang benar-benar baru sehingga kita memiliki diferensiasi produk yang mendasar dibanding dengan perusahaan lain yang serupa. Contoh saja perusahaan Haier dari Cina yang sekarang telah mengakuisisi Maytag--salah satu perusahaan White Good terbesar di Amerika. Seluruh karyawan engineering yang bekerja di sana, harus mempunyai ide inovasi baru atas produk yang akan dibuat. Mereka tidak lagi mau dianggap sebagai perusahaan Cina yang selalu mengcopy produk-produk barat. Mereka mulai bertransformasi menjadi pelopor teknologi dan desain. Saya yakin kita mampu untuk itu. Kita harus berpikir sintesis, tidak lagi analisis belaka. Banyak lulusan S3 di Indonesia menganggurkan potensi pikiran mereka karena tidak tersedianya perusahaan R&D yang berorientasi membangun inovasi baru, bukan sekedar meniru.
Yang terakhir, Quality Oriented. Semua inovasi, semua produk, tidak akan berhasil survive di pasar tanpa quality yang baik. Kualitas disini luas sifatnya. Mulai dari saat produk didesain, diproduksi, diperjualbelikan, sampai layanan purna jualnya. Semua proses menuntut kualitas yang sempurna, dan perusahaan harus menanamkan konsep itu dalam keseharian kultur perusahaan. Itulah yang populer disebut dengan TQM, atau Total Quality Management. Perusahaan harus selalu berani mengintrospeksi diri untuk menjadi lebih baik. Jepang adalah contoh yang terbaik untuk ini. Dan saya yakin, manusia Indonesia mampu untuk menuju ke arah ini.

At last, Utopia saya kali ini adalah mimpi saya melihat perusahaan Indonesia satu-persatu menjadi perusahaan multinasional yang berhasil shifting the wealth of the world to South East Asia, seperti fenomena yang terjadi di Asia Utara dan Amerika Selatan. Perusahaan Indonesia telah menunjukkan kemampuan mereka untuk survive melewati badai krisis; dan saya yakin 99% mereka (atau mungkin kita) pasti mampu 'GO WORLDWIDE' jika mau bermimpi lebih tinggi lagi. Just DO it!... NOW is the TIME!

-dyn

Dony Yuliardi @ BlackBerry Curve via XL

Minggu, 07 Oktober 2007

The Briefs

I have a philanthropic objective by building this blog: I want the world to know what I thought, which who knows, might help anyone out there to change for a better world. Klise? Mungkin.... Yang jelas, mudah2an isinya tidak seklise tujuannya :-)
In the future, saya akan membuat 4 jenis Briefs, yang tujuannya untuk menggelitik anda yang membaca untuk berpikir tentang apa yang saya pikirkan. Tentunya saya akan lebih senang jika tulisan saya bisa menambah khazanah keilmuan dan pengetahuan anda... Tentunya untuk tujuan baik ya... He he he :)
Keempat briefs tersebut adalah:
- Business Brief
- Technology Brief
- Politics Brief
- Art & Living Brief

Inget, saya pastinya akan butuh komen dari anda. I want to make every single topic as a live discussion topic. Apa yang saya tulis belum tentu benar, dan komentar anda belum tentu salah. Therefore, your ideas are most welcome.
Paling tidak, dengan anda sudah berkomentar, itu menandakan anda tetarik dengan tulisan saya--terlepas secara positif maupun negatif. Satu hal, saya ngga mau blog ini jadi ajang SARA. So, mohon maaf bila komentar yang berbau SARA otomatis tidak saya approve.

Enjoy my writings!

Cheers...
Dony Yuliardi @ BlackBerry Curve via XL

Art & Living Brief: Memasyarakatkan bodoh-bodohan, Membodohkan masyarakat

Ramadhan, bulan suci yang selalu ditunggu umat muslim sedunia, memang berkah untuk semua orang. Tentunya berkah itu termasuk bagi para artis pengisi acara Ramadhan di televisi yang beraneka ragam. Apalagi, begitu banyak pilihan TV swasta saat ini sehingga menimbulkan persaingan yang begitu ketat bagi marketer TV untuk menyerap perhatian penonton sebanyak mungkin. Kenapa bulan Ramadhan itu bulan favorit?
Saat Ramadhan, rata-rata umat muslim Indonesia--nota bene 85% dari total populasi--berkumpul bersama keluarga saat sahur dan berbuka puasa. Mereka ingin menikmati kebersamaan menunggu 2 penanda waktu: imsyak dan azan Maghrib. Saya yakin, tidak ada yang mau melewatkan acara buka puasa untuk melepas dahaga dan lapar seharian penuh :) Lalu, apa yang mereka kerjakan saat menunggu? Jawabannya hampir seragam: menonton TV. Jelas ada pula yang beribadah--seperti papa saya, misalnya--tapi mayoritas seperti saya... Ya menonton TV itu :-p. Tentunya, kita menonton agar tidak ngantuk saat sahur, dan tidak terlewat saat buka puasa. Saat-saat seperti itu, 3 - 4 generasi berada didepan TV: cucu, cicit, ayah, ibu, eyang, tante, dsb. Susah bagi TV swasta untuk mencari format acara yang tepat bagi ke-3 generasi ini. Akhirnya, again, rating lah yang menjadi acuannya. Setelah bertahun-tahun mencari format yang berbeda-beda, dari yang sangat mendidik sampai yang bodoh-bodohan, survey rating menunjukkan hasil yang konsisten: Penonton Indonesia sangat gemar melihat acara bodoh-bodohan. What a saddening result. Acara-acara yang favorit disaat 'prime time Ramadhan' itu bentuknya semakin seragam: para pelawak dengan gaya bodoh-bodohan, saling membodoh-bodohi dan quiz yang, sangat disayangkan, tidak bermutu alias bodoh-bodohan juga. Amazingly, dengan menjawab pertanyaan bodoh, peserta quiz bisa memboyong tak kurang dari sebuah hadiah sepeda motor bebek terkini... Again, sebuah langkah bodoh untuk menambah polusi di negeri ini. I'm too skeptical? Mungkin juga. Kenyataannya begitu banyak penonton yang menyenangi acara-acara seperti ini. Siapa yang tidak tergelitik untuk mencoba menjawab pertanyaan multiple choice dari sebuah aksi, misalnya, yang diperagakan oleh pelawak dengan bodoh-bodohan, lalu berhadiah motor bebek :-D
Dulu, kita masih sempat melihat para Ustadz berlomba-lomba memberikan pendidikan agama bagi pemirsa TV--not anymore. Sangat sedikit kesempatan itu dapat terlihat saat 'prime time'. Padahal, acara mendidik tidak hanya harus dengan Ustadz didepan memberikan ceramah... Banyak alternatif program yang lain untuk membangkitkan gairah yang sama. Paling tidak, dengan memberikan quiz yang lebih bermutu dan mendidik. Sangat setuju bahwa stasiun TV butuh sponsor... Oleh sebab itu, sebenarnya the culprit is our growing culture. Dengan kenyataan para anggota DPR dan petinggi lainnya lebih suka berdagelan di rapat2 mereka, pelawak pun semakin senang mencontoh para dewan terhormat ini. At the end of the day, they are both similar... :) no offense, please.
Terus terang saya rindu pada acara-acara yang lebih mendidik. Yang membuat saya tidak merasa useless saat memilih channel di TV. Saya yakin, inilah tantangan bagi para creator acara--produser, creative team dan tentunya petinggi TV swasta--untuk lebih bisa berkreasi dan berani membuat langkah baru bagi pendidikan masyarakat. Ingat, acara ini ditonton oleh seluruh pelosok negeri. Saya sekali lagi tidak menampik kenyataan bahwa 'rating is everything'. Membuat acara yang lucu-lucuan is fine...that's how we can attract the market with. Tapi tentunya lucu-lucuannya perlu lebih smart, dan pertanyaan quiz-nya lebih mendidik. Sitcom kita sudah mulai moving from toyor-toyoran gaya srimulat, ke script-based humor gaya hollywood sitcom. That's a great improvement. Kenapa itu tidak ditularkan ke acara-acara ramadhan?
Tidak semua TV swasta besar, untungnya, yang melakukan hal bodoh-bodohan ini. Masih ada yang merasa bertanggung jawab dan secara creative selalu mencari format baru untuk acara-acara Ramadhan-nya. Angkat topi untuk stasiun tersebut--tanpa bermaksud berpesan sponsor disini, saya salut dengan stasiun berinisial "I" :-)
Well, at last, mari kita sama-sama membentuk smart society di bumi Indonesia tercinta ini. Membuat insan Indonesia yang lebih suka berpikir dan mencari ilmu. Ini tidak hanya tanggung jawab stasiun TV... Ini tanggung jawab kita semua. Majalah, koran, tabloid, radio, internet adalah media-media yang juga memiliki tanggung jawab yang tidak berbeda dengan stasiun TV. Hanya market share mereka memang tidak sebesar TV. Secara individu, kita sebagai anggota masyarakat juga bisa kok membawa society ini kearah yang lebih smart. Caranya? Dengan lebih selektif dalam memilih acara yang ditonton oleh diri sendiri atau keluarga, sehingga rating acara-acara yang lebih mendidik itu menikmati rating yang tinggi pula.
Apa utopia saya? One day I'll post something different in my blog: "Memasyarakatkan Kepintaran, mempintarkan masyarakat". Who knows? ;)

Keterangan foto: salah satu acara Sahur Ramadhan

Dony Yuliardi @ BlackBerry Curve via XL

November Utopia Plan: Reuni ke-3 SMPN 88 Angkatan 91

Menyelenggarakan reuni has never been easy. Apalagi disaat kerjaan udah menumpuk, sehingga komitmen untuk kerja sukarela perlu dipertanyakan. Apakah kita punya waktu? Apakah reuni bisa jadi perhatian tanpa prioritas yg jelas?
Sudah dua kali jadi ketua reuni. Dan sekarang yang ketiga. At one part, it's flattering to get the trust from my old friends; but at the other part, tanggung jawabnya lebih berat dari kerjaan di kantor. First, we never get the budget easily; second, no authoritative power to order; third, you never get paid :-)
Untungnya, temen2 alumni sangat mendukung dan rela bekerja keras bareng2 untuk mewujudkan utopia ketiga kita, another successful reunion. Disaat2 seperti ini, lebih kerasa semangat teamwork. Nobody gets paid, but everybody should still possess spirit to continue with the game. Ternyata, when the courage comes out from something other than money, it will last longer and be more resilient.
November sendiri sudah menjadi rencana kedua setelah Agustus. Semoga November ini berkah dan semua bisa hadir.
Again, makasih atas dukungan temen2 di ajang persiapan reuni. Kerja keras kita akan membuahkan hasil. Itu Pasti.
Amin. Next, I will let you know on how this project has progressed. Keep reading and serving oatmiil :-)

Dony Yuliardi @ BlackBerry Curve via XL

Jumat, 05 Oktober 2007

Lebaran sebentar lagi!

Saya agak sedih dengan Ramadhan tahun ini. Banyak keinginan saya untuk memperbanyak diri menyebut nama Allah, ngga kesampaian. Sholat Tarawih bolong-bolong... Apalagi baca Quran :(
Waktu... That's my line of excuse every day. Sebenarnya, jika kita memang niat, harusnya waktu itu selalu ada--even 1 hour only. Time is something you cannot hold back no matter how hard your effort is... Even a second. Or a trillionth second. Apa yang sudah terlewat, you can get it back. Kita hanya bisa memperbaiki diwaktu yang akan datang. So don't regret, and make a new commitment. Temen2, doain saya bisa menuntaskan beberapa hari terakhir Ramadhan ini dengan lebih banyak ibadah ya. Dan lagi, ini waktu anda berbuat baik untuk saya kan? :) siapa tahu there'll be no other time to do that.
Do what you can do, NOW!
Selamat berpuasa!
-dyn

Sent from my BlackBerry® wireless device from XL GPRS network

Kartu Lebaran...

Sent from my BlackBerry® wireless device from XL GPRS network

Kamis, 04 Oktober 2007

My First Day!

Hi everyone!

This is my first day to have my own blog. Strange, isn't it? especially with my current line of work and my frequent encounters with technology, just having my own blog in this 4Q of 2007 seems like a late move :-)
Though, i love it! And I would share most of my experiences, knowledge, thought, with you all.
Enjoy it, and please give comments!

Have a great day!... always :-)